Beranda / Berita / Aceh / Polemik HGU PT Bumi Flora dan DKS di Aceh Timur, Haji Uma Temui Masyarakat

Polemik HGU PT Bumi Flora dan DKS di Aceh Timur, Haji Uma Temui Masyarakat

Selasa, 26 Juli 2022 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

[Foto: Ist]

DIALEKSIS.COM | Aceh Timur - Berkaitan dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang selama ini dipegang oleh PT Bumi Flora dan Dwi Kencana Semesta di enam wilayah kecamatan yaitu Banda Alam, Idi Tunong, Darul Ihsan, Idi Timur, Peudawa, Rantau Perlak, di Kabupaten Aceh Timur diklaim oleh masyarakat selama ini tidak memenuhi syarat lagi. 

Terkait persoalan yang selama ini berkembang di tengah masyarakat itu, Senator DPD RI asal Aceh, Sudirman atau akrab disapa Haji Uma langsung terjun ke Aceh Timur menemui unsur masyarakat, pihak pemerintah serta legislatif yang bertempat di Caffe rival Aceh Timur, Senin (25/7/2022).

Haji Uma sempat berdiskusi bersama tokoh masyarakat di Aceh Timur tentang persoalan yang selama ini mencuat di tengah masyarakat seperti yang disampaikan oleh Koordinator Aliansi Masyarakat Menggugat Keadilan, Tgk M Mudawali.

Di hadapan Haji Uma, Tgk Mudawali menyatakan, tanah HGU yang dikuasai oleh PT Bumi Flora dulu itu banyak tanah masyarakat yang direbut secara paksa saat konflik, alias memanfaatkan Darurat Operasi Militer (DOM) Aceh.

Bahkan dulu, kata dia, saat pembukaan PT Bumi Flora ada juga masyarakat yang menjadi korban penculikan kerna mempertahankan lahan kelompok tani berdikari dengan jumlah tiga orang terdiri dari ketua, bendahara dan sekretaris.

Nama kelompok tani berdikari tersebut diabadikan jadi nama sebuah dusun di desa Blang Rambong, kecamatan Banda Alam, Aceh Timur.

Tetapi lihat sekarang, lahan yang dikuasai pihak perusahaan telah menjadi hutan, aliasn bukan lahan produktif, termasuk ada lahan yang digarap di luar HGU. Oleh karena itu kami memohon kepada berbagai pihak agar HGU yang dikuasai PT Bumi Flora maupun Dwi Kencana tidak diperpanjang lagi,” ujar Tgk Mudawali.

Tgk Mudawali selaku koordinator yang mewakili masyarakat menegaskan, pihaknya ingin agar tanah HGU yang dikuasai kedua perusahaan itu dapat kembali menjadi tanah bagian masyarakat. Apalagi, lanjut dia, Amdal Lingkungan perusahaan itu juga tidak memenuhi syarat maupun Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan.

Sementara itu, Haji Uma dalam diskusi itu juga mencoba memberikan solusi dan saran terbaik untuk penyelesaian yang diinginkan masyarakat. Menurut Haji Uma, setiap perusahaan yang memegang HGU itu perlu menyediakan plasma sejumlah 20 persen.

“Penyediaan itu secara peraturan maupun undang-undang harus disediakan, tapi menurut masyarakat hari ini itu tidak terpenuhi. Kemudian lahan HGU digarap pun tidak produktif menurut masyarakat, termasuk tanah yang digarap di luar HGU,” ujar Haji Uma.

Haji Uma menegaskan, kelakuan perusahaan sebagaimana yang diceritakan masyarakat sudah sangat merugikan daerah. Membiarkan HGU tanpa produksi adalah kerugian untuk daerah, karena untuk apa HGU jika hanya untuk memelihara hutan.

“HGU dikekang perusahaan, masyarakat tidak bisa mengelolanya. Ini secara hukum salah. Hari ini kita bersama dengan anggota dewan, dinas perkebunan, BPN, akan kita tindaklanjuti supaya ada informasi dan masukan lebih lanjut tentang luas tanah HGU yang dikelola oleh dua perusahaan tersebut,” tutur Haji Uma.

Dalam forum diskusi itu, dihasilkan rekomendasi cara menyelesaikan persoalan ini, diantaranya yaitu:

(1). Melakukan konsultasi dan konsolidasi dengan pihak perusahaan bersama DPR, BPN, serta Dinas Perkebunan harus dimediasi kembali.

(2). Melakukan timbang hasil produksi oleh para pakar dan akademisi yang membidangi bidang pertanian, perkebunan, hasil produksi perhektar menjadi ukuran kelayakan,standar dari pada hasil perkebunan ini layak atau tidak.

(3). Selayaknya juga disarankan untuk dewan perwakilan rakyat (DPR) segera membentuk pansus agar memediasi persoalan ini.

(4). Membentuk Badan CSR supaya anggapan masyarakat ini yang tidak teraliri CSR sudah ada wadah dalam CSR. Kemudian melibatkan unsur masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh pemerintah, dan juga tokoh atau unsur dari perusahaan, sehingga secara input dan outputnya itu jelas.(Akhyar)

Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda