Perencanaan Anggaran Dinilai Buruk, SILPA Sering Terjadi di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Agam K
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Proses perencanaan anggaran yang buruk di Pemerintahan Aceh merupakan salah satu penyebab mengapa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selalu besar pada akhir tahun anggaran.
SILPA Aceh akhir tahun 2020 yang mencapai Rp3,9 triliun menunjukkan buruknya penganggaran pemerintahan Aceh, yang mungkin saja berkaitan dengan Pandemi Covid-19 yang mulai merebaik di awal tahun 2020.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala, Dr. Syukriy Abdullah mengatakan, SILPA tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, selaku ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dalam memimpin seluruh SKPA.
Dalam proses penyusunan anggaran awal dan pada saat penyesuaian anggaran selama tahun 2020. Meskipun telah dibuat penyesuaian anggaran empat kali melalui perubahan peraturan gubernur (Pergub), yang dilakukan tanpa melakukan komunikasi apa pun dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), pada akhir tahun SILPA masih sangat besar, bahkan menjadi rekor sepanjang sejak otonomi khusus diberlakukan di Aceh.
Menurut Dr. Syukriy Abdullah, penyesuaian anggaran anggaran seharusnya memperkecil SILPA, terlebih lagi perubahan Pergub ke-4 ditandatangani pada minggu keempat bulan November 2020, yang memprediksi SILPA bernilai nol alias nihil. “Bisa dibayangkan betapa buruknya perkiraan SILPA yang dibuat, sehingga pada saat dua bulan menjelang akhir tahun anggaran, angka rill yang sudah pasti pun tidak dimasukkan dalam penjabaran APBA,” lanjutnya (22/6/2021).
Syukriy Abdullah juga menambahkan, potensi membengkaknya SILPA bisa terjadi karena adanya kecenderungan membagi-bagi anggaran ke SKPA dengan alasan realokasi tanpa didasari perhitungan target kinerja dan kemampuan SKPA merealisasikannya. Konsep refocusing dan realokasi yang tidak jelas dan tidak dikomunikasikan dengan DPRA membuat Sekda Aceh seperti seorang panglima perang yang bertempur dengan semangat dan keyakinan sendiri, sementara prajuritnya kepayahan dan kebingungan mengikuti perintah yang tidak sejalan dengan visi dan misi Gubernur Aceh.
“Kebijakan Presiden yang memberikan kewenangan besar kepada Pemerintah Aceh untuk merevisi APBA tanpa harus berkomunikasi dengan DPRA, karena alasan kedaruratan untuk penanggulangan Pandemi Covid-19, menjadi boomerang bagi Pemerintah Aceh sendiri. Hal ini diperparah dengan mundurnya Bustami Hamzah sebagai kepala Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA) pada tanggal 14 Juni 201,” lanjutnya.