Perempuan Masih Rentan Jadi Korban KDRT di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Siti Farahsyah Addurunnafis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi momok yang menghantui kehidupan perempuan dan anak di Aceh, khususnya di Kota Banda Aceh.
Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLHBI) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dari tahun 2019 hingga 2024 tercatat ada 164 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di kota ini.
Angka ini hanya mencerminkan puncak gunung es dari berbagai bentuk kekerasan yang tidak terlaporkan, terutama dalam kasus-kasus KDRT yang seringkali tersembunyi di balik norma dan budaya lokal.
Siti Farahsyah Addurunnafis, pengacara di LBH Banda Aceh, menyoroti fakta yang lebih luas terkait kekerasan berbasis gender ini.
Dalam diskusi yang diadakan di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, ia mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam bentuk KDRT, merupakan masalah yang telah mengakar lama dalam masyarakat, baik di Aceh maupun secara nasional.
Menurut data Komnas Perempuan, tercatat sebanyak 515.466 kasus KDRT di seluruh Indonesia sejak lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dua dekade lalu, dengan 94 persen korbannya adalah perempuan, terutama istri.
“Isu KDRT akan terus terjadi dan menjadi persoalan yang tidak akan pernah hilang. Setiap orang dengan kerentanan tinggi berpotensi mengalaminya, terutama perempuan,” ungkap Farah kepada Dialeksis.com, Kamis (5/9/2024).
Dalam pandangannya, KDRT tidak bisa dilihat sebagai persoalan individual semata, melainkan terkait erat dengan struktur sosial patriarki yang mengakar dalam budaya masyarakat.
Farah menekankan bahwa salah satu penyebab utama KDRT adalah sistem patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
“Hubungan antara patriarki dan KDRT sangat erat, karena sistem patriarki memosisikan perempuan di bawah laki-laki, yang akhirnya memberikan laki-laki, khususnya suami, kekuasaan berlebihan atas perempuan. Ini menciptakan situasi di mana perempuan harus tunduk kepada apa yang dikatakan oleh laki-laki,” jelas Farah.
Namun demikian, Farah juga mencatat bahwa penyebab KDRT sangat beragam dan tidak hanya bisa dilihat dari sudut pandang patriarki semata.
“KDRT bisa terjadi karena berbagai faktor, mulai dari tekanan ekonomi, konflik finansial, hingga ketidakmampuan suami untuk menerima istri yang ingin mandiri secara ekonomi,” lanjutnya.
Ia mencontohkan, dalam beberapa kasus, perempuan yang ingin bekerja kerap kali dilarang oleh suami, yang merasa posisinya terancam jika istri memiliki penghasilan sendiri.
“Dalam rumah tangga, konflik seringkali muncul karena masalah keuangan. Ketika suami merasa bahwa peran tradisionalnya sebagai pencari nafkah utama terancam, ini dapat memicu kekerasan sebagai bentuk pengendalian,” tambah Farah.
Selain patriarki dan konflik ekonomi, LBH Banda Aceh juga menemukan sejumlah faktor lain yang memicu KDRT.
Menurut Farah, dalam beberapa kasus, KDRT terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam rumah tangga.
"Ada suami yang memanfaatkan dominasinya untuk mengontrol segala aspek kehidupan istri, termasuk penampilan fisik, keuangan, hingga kegiatan sosialnya," katanya.
Tidak hanya itu, LBH Banda Aceh juga menemukan bahwa kurangnya pemahaman tentang hak-hak perempuan serta rendahnya penegakan hukum terhadap pelaku KDRT menjadi faktor yang memperparah situasi ini.
“Masyarakat seringkali melihat KDRT sebagai urusan domestik, sehingga korban merasa sulit untuk melapor. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban lebih memilih untuk bertahan karena takut stigma sosial atau ancaman dari pelaku,” jelasnya.
Farah juga menegaskan pentingnya penelitian lebih mendalam mengenai penyebab KDRT di Aceh.
"Meskipun kita bisa melihat penyebab KDRT dari apa yang terjadi di masyarakat sehari-hari, namun penelitian akademis sangat penting untuk memahami lebih dalam dan menemukan solusi yang tepat,” ujarnya.
Menurutnya, penelitian tersebut harus mencakup berbagai aspek, mulai dari faktor budaya, ekonomi, hingga psikologis, guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang KDRT di Aceh.
“Dengan penelitian yang baik, kita bisa merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi KDRT,” lanjutnya.
Farah juga menyarankan agar pemerintah dan lembaga terkait lebih proaktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya KDRT dan hak-hak perempuan.
“Kita harus mendorong kesadaran kolektif bahwa KDRT adalah pelanggaran hukum yang serius, bukan hanya masalah internal keluarga. Korban harus didorong untuk berani melapor, dan pelaku harus diberikan sanksi yang tegas,” pungkasnya.
Farah juga menyampaikan harapannya agar penanganan kasus KDRT di Aceh dapat lebih baik ke depannya. Ia berharap pemerintah, masyarakat, dan lembaga penegak hukum dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak.
“Kita semua memiliki peran dalam memerangi KDRT. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga hukum, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan,” tutupnya. [nh]