DIALEKSIS.COM | Banda Aceh- Guru sekaligus peneliti dari MAN 1 Banda Aceh, Muhammad Putra Aprullah mengatakan wakaf tunai mampu menjadi mekanisme distribusi kekayaan yang adil dan berkelanjutan.
Hal ini disampaikan setelah melakukan kajian mendalam melalui Systematic Literature Review (SLR) berbasis protokol PRISMA terhadap ratusan literatur nasional
Penelitian tersebut menelaah 112 dokumen awal, sebelum mengerucut pada 31 literatur utama, termasuk studi akademik serta laporan lembaga seperti BAZNAS, LAZIS, BWI, OJK, dan Bank Indonesia.
Temuan ini menguatkan pandangan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dunia dan tercatat sebagai bangsa paling dermawan menurut World Giving Index 2021, memiliki potensi ekonomi syariah yang sangat besar, tetapi belum termanfaatkan secara optimal untuk mengatasi kesenjangan ekonomi.
Dari hasil pemetaan literatur, 45% kajian menekankan pentingnya wakaf tunai dan wakaf produktif dalam pembiayaan sektor-sektor strategis seperti UMKM, pendidikan, layanan kesehatan, hingga perumahan untuk kelompok rentan.
“Wakaf tunai memberikan fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh wakaf aset tetap. Dengan manajemen profesional, ia bisa menjadi motor penggerak ekonomi bagi masyarakat miskin melalui program-program pemberdayaan yang berkelanjutan,” ujarnya di Konferensi Internasional Pertama tentang Ekonomi Syariah dan Inovasi Bisnis (1st International Conference on Sharia Economics and Business Innovation/ICSEBI) Tahun 2025, diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Langsa dilansir media dialeksis.com, Kamis 20 November 2025.
Ia menegaskan bahwa kemampuan wakaf tunai menghasilkan surplus ekonomi bukan lagi teori, melainkan sudah terbukti di berbagai studi yang dianalisis, meski masih perlu penguatan kelembagaan secara nasional.
Namun potensi besar tersebut dihadapkan pada tantangan serius. Menurut temuan penelitian, hanya 35% lembaga nadzir di Indonesia yang menerbitkan laporan keuangan tahunan. Artinya, masalah transparansi dan akuntabilitas masih menjadi hambatan besar bagi kepercayaan publik.
“Kita menemukan bahwa banyak lembaga nadzir belum memiliki kapasitas manajerial yang kuat. Sebagian besar tidak terintegrasi dengan sistem keuangan nasional, sehingga efektivitas pengelolaan wakaf produktif masih sangat terbatas,” kata Muhammad Putra.
Selain itu, rendahnya literasi wakaf produktif di tengah masyarakat serta minimnya sinergi antar lembaga seperti OJK, BI, dan KNEKS memperlambat perkembangan ekosistem wakaf yang profesional.
Kajian tersebut juga menyoroti perkembangan beberapa instrumen baru seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) yang dinilai sebagai terobosan besar. Berdasarkan literatur yang ditelaah, CWLS memungkinkan dana wakaf digunakan untuk mendanai proyek pembangunan nasional sambil memberikan imbal hasil yang kembali kepada masyarakat miskin.
“CWLS adalah model aktual dari sinergi antara wakaf dan keuangan syariah modern. Ini menunjukkan bahwa wakaf tidak hanya soal ibadah, tetapi juga instrumen ekonomi yang sangat potensial untuk mengurangi ketimpangan," ujarnya.
Integrasi wakaf dengan fintech syariah, mikrofinansial syariah, dan sistem zakat nasional juga dinilai semakin relevan untuk memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat berpendapatan rendah.
Dalam perspektif teori distribusi pendapatan, wakaf dinilai mampu menjadi pendorong kuat bagi pembangunan inklusif yang berorientasi pada keadilan sosial, terutama bila dikelola secara profesional dan terstruktur.
Menurut peneliti muda asal Aceh tersebut, optimalisasi peran wakaf dalam mengurangi ketimpangan ekonomi sangat bergantung pada tiga faktor utama.
Pertama, diperlukan regulasi serta tata kelola yang kuat agar lembaga pengelola wakaf memiliki arah yang jelas dan dapat mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya secara transparan.
Kedua, profesionalisme nadzir sebagai pengelola wakaf menjadi prasyarat penting untuk memastikan bahwa dana wakaf dapat diproduktifkan secara aman, efektif, dan tepat sasaran.
Ketiga, kolaborasi strategis antara lembaga wakaf dan sektor keuangan formal dinilai sangat menentukan keberhasilan pengembangan wakaf produktif dalam skala yang lebih luas.
“Jika ketiga faktor ini terpenuhi, wakaf bisa menjadi solusi struktural terhadap ketimpangan ekonomi di Indonesia. Ia bukan hanya bantuan jangka pendek, tetapi investasi sosial jangka panjang,” tegasnya
Dalam penelitiannya, Muhammad Putra Aprullah menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis untuk memperkuat pengelolaan wakaf di Indonesia. Ia menekankan pentingnya standarisasi tata kelola nadzir dan kewajiban pelaporan keuangan tahunan yang transparan sebagai langkah dasar membangun kepercayaan publik.
Putra juga mendorong integrasi wakaf dengan industri keuangan syariah, terutama melalui fintech dan perbankan syariah, agar pengelolaan wakaf menjadi lebih modern dan efektif. Penguatan literasi wakaf produktif melalui pendidikan dan kampanye nasional turut dianggap penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Selain itu, ia merekomendasikan perluasan model inovatif seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) ke sektor pendidikan, kesehatan, dan pemukiman guna memaksimalkan dampak sosial-ekonomi wakaf. Menurutnya, langkah-langkah ini menjadi fondasi penting untuk menjadikan wakaf sebagai instrumen ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.