kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pengaruh Pandemi Terhadap Karakter, Budaya dan Adat Istiadat Masyarakat Aceh

Pengaruh Pandemi Terhadap Karakter, Budaya dan Adat Istiadat Masyarakat Aceh

Minggu, 20 Maret 2022 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Antropolog UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr Bustami Abubakar. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang bulan ramadhan, dunia masih saja dilanda pandemi Covid-19 dan sudah berjalan 2 tahun. Banyak hal yang telah dilewati masyarakat terkhususnya di Aceh.

Antropolog UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr Bustami Abubakar mengatakan, pandemi Covid-19 tentu membawa dampak bagi perubahan karakter masyarakat Aceh.

“Jika tidak ada kontrol sosial maka pada suatu generasi baru di Aceh akan memiliki karakter yang berbeda dengan generasi pendahulunya,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Minggu (20/3/2022).

Adapun indikasi perubahan itu, Dr Bustami menyebutkan, Pertama, demi memperoleh hidup ragam bantuan untuk bertahan hidup, orang Aceh rela menadahkan tangannya meminta bantuan.

“Padahal dalam sejarahnya, orang Aceh itu penderma. Tangan mereka sering diatas bukan dibawah. Bahkan, ada orang Aceh dalam masa pandemi ini yang rela mengantri bantuan pemerintah meskipun secara ekonomi mereka tergolong orang yang mampu,” sebutnya.

Kemudian, Kedua, anak-anak di Aceh mengalami dekonstruksi dalam interaksi sosial. “Anak-anak lebih suka menyendiri didalam rumah bersama gadget/smartphone untuk belajar daring dan mengerjakan tugas sekolah. Namun porsi terbesar waktu yang mereka habiskan justru untuk bermain game online, menonton youtube, bermedia sosial (Instagram/fb dan sejenisnya),” jelasnya.

“Mereka tidak lagi suka bergaul bersama tetangga dan teman-temannya. Jika situasi ini berlanjut, maka akan banyak sekali perubahan yang terjadi dalam karakter dan perkembangan jiwa mereka,” tambahnya.

 

Tradisi Meugang di Aceh

Lebih lanjut, dirinya mengatakan, mantan Guru Besar sejarah UGM Yogyakarta, (Alm.) Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian, MA, menjelaskan bahwa tradisi ma'meugang telah ada sejak agama Islam dibawa masuk ke Serambi Mekah itu .

“Ini berarti bahwa Ma'meugang memiliki hubungan yang erat (inheren) dengan syiar Islam yang dibawa ke Aceh,” ujarnya.

Kemudian, disebutkan juga dalam setahun ada 2 (Dua) kali Ma’meugang yaitu sehari sebelum puasa dan sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pada hari itu, masyarakat Aceh menyembelih lembu atau kerbau ditempat-tempat tertentu sebagai bagian dari adat-istiadat.

“Hal-hal yang berkaitan dengan penyembelihan diatur oleh hukum adat, dimulai dari kriteria orang yang menyembelih, pisau yang digunakan, cara penyembelihan sampai pada orang-orang yang berhak mendapatkan daging sembelihan serta besarnya bagian yang didapatkan,” jelas Dr Bustami.

Saat ini sudah berbeda dengan dulu, Dr Bustami menyebutkan, masyarakat Aceh sekarang ini mengenal tiga momen Ma'meugang dalam setahun, yaitu: menjelang bulan puasa (Ma'meugang puasa), menjelang Idul Fitri (Ma'meugang uroe raya) dan menyambut tibanya Idul Adha (Ma'meugang haji).

“Momen Ma'meugang menjadi hari yang sakral bagi masyarakat Aceh. Kesakralan Ma'meugang terletak pada adanya kewajiban bagi seorang suami/kepala rumah tangga untuk membeli atau membawa pulang daging ke rumahnya pada hari itu,” ujarnya.

Sedangkan, bagi mereka yang sudah janda miskin, anak yatim dan siapa saja yang tidak punya kemampuan untuk membeli atau memperoleh daging maka mereka tetap dapat makan daging seperti orang lain yang diberikan tetangga dan kerabat.

“Bisa diberi yang sudah siap makan atau sudah dimasak, atau daging mentah, atau bisa juga dengan cara mengundang mereka untuk makan dirumahnya,” ujarnya.

Ma'meugang telah menjadi suatu tradisi yang unik dan sakral bagi masyarakat Aceh. Uniknya, kata Dr Bustami, karena pada hari itu semua masyarakat, baik yang kaya atau miskin akan makan dengan daging sapi/kerbau sebagai lauk.

Oleh karena itu, bagi orang-orang yang memiliki pendapatan yang cukup-cukup makan, mereka telah menabung jauh hari sebelum ‘uroe Ma'meugang’ untuk memastikan ketersediaan uang untuk membeli daging. 

“Jika mereka tak mampu membeli daging, mereka akan minta kepada pemilik hewan sembelihan untuk dilibatkan sebagai pekerja pada penyembelihan itu, sehingga pada akhirnya mereka akan memperoleh daging sebagai upah atas pekerjaannya,” ujarnya lagi.

“Ada pula sebagian orang yang lebih memilih meminjam uang pada orang lain atau terus mengambil daging, sedangkan pembayarannya dilakukan pada lain waktu (berhutang),” tambahnya.
 

Pandemi mempengaruhi Uroe Ma’meugang

“Jika pun terjadi perubahan adalah pada kuantitas daging yang dibeli sebagai akibat penurunan pendapatan yang menyerang mereka dalam masa pandemi,” jelasnya.

Lanjutnya, begitu unik dan sakralnya Ma'meugang di Aceh, sehingga pandemi Covid-19 tak mampu membendung orang Aceh untuk tidak berkerumun pada ‘Uroe Ma'meugang’.

“Dalam amatan saya di beberapa titik penjualan daging, selama beberapa kali Ma'meugang dalam masa pandemi, masyarakat tetap ramai bak pasar malam untuk membeli daging dan ragam keperluan lain menyambut Ramadhan dan Hari Raya,” tukasnya.

 

Upaya dalam menjaga budaya Aceh

Dr Bustami menjelaskan, upaya pelestarian dan pemajuan kebudayaan diperlukan kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah dan berbagai pihak lain dengan memperkuat koordinasi dan sinergi.

“Kesadaran dan kepedulian masyarakat selaku pemilik kebudayaan perlu terus dibangkitkan agar mereka dapat terus mempraktikkan, mencatat, dan mendokumentasikan kebudayaan mereka sehingga tetap lestari, berkembang, dan diakui sebagai milik mereka,” sebutnya.

Lebih lanjut, Pemerintah perlu memberikan apresiasi dan memberdayakan masyarakat di bidang kebudayaan dengan cara memberikan fasilitasi dan bantuan kepada individu, kelompok, lembaga dan organisasi penggiat kebudayaan.

Sementara itu, kata Dr Bustami, kebijakan dan pelaksana teknis bidang kebudayaan dari kalangan aparatur pemerintah, perlu peningkatan kompetensi sumber daya manusia kebudayaan melalui pendidikan, pelatihan, bimbingan teknis, serta sertifikasi. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda