Pengamat Kebijakan Publik: Sangat Disayangkan, Padahal Aceh Punya Kewenangan dalam Mengatur Kepegawaian
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizki
Tangkapan layar pengamat kebijakan publik Dr Nasrul Zaman di kanal YouTube tvriacehofficial yang bertemakan “Nasib Honorer”, Selasa (14/6/2022).
DIALEKSIS. COM | Banda Aceh - Pengamat Kebijakan Publik menyebutkan bahwa pemerintah Aceh lambat dalam mengatur solusi atas kebijakan penghapusan honorer.
Hal itu disampaikan Dr. Nasrul Zaman pada kanal YouTube tvriacehofficial yang bertemakan “Nasib Honorer”, Selasa (14/6/2022).
Ia mengatakan, bahwa kebijakan penghapusan tenaga honorer bukan kebijakan yang terburu-buru tetapi antispasinya dari pemerintah daerah yang terburu-buru. Ini adalah dua hal yang berbeda. Kebijakan ini sudah dari tahun 2005 dan 2007, tapi pemerintah daerah sekarang baru merasakan.
Artinya, tidak mengantisipasi sejak puluhan tahun yang lalu. Ia melihat bahwa tenaga honorer ini adalah tenaga kerja ynag baik, punya talenta, dan menjadi tulang punggung di pemerintahan. Apalagi upgrading ASN Aceh terbatas, ini menyulitkan. Adaptasi dan teknologi pada mekanisme tata kelola pemerintahan.
Yang disayangkan sebenarnya kenapa disamakan antara tenaga honorer di sektor pendidikan dan sektor kesehatan dengan sektor administratif.
“Harusnya ini dibedakan dong, yang ini kita keberatan,” ucapnya.
Pada sektor pendidikan dan sektor kesehatan harusnya dikecualikan karena justru yang menjadi pusat daripada pelayanan publik itu sendiri. Kalau disamakan dengan sektor administratif, merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Lanjutnya, tidak boleh pemerintah pusat berpikir apologinya pada alasan tenaga honorer kecil gajinya. Seharusnya menetapkan aturan tidak boleh menerima honor yang kecil.
“Menurut saya ini sangat aneh cara berpikirnya, cara berpikirnya sepertinya harus dibenerin dulu,” ujarnya.
Karena perlu diingat bahwasanya pada beberapa sektor ketika negara tidak mampu memenuhi, maka ada partisipasi masyarakat yang terlibat untuk melayani masyarakat. Jadi, jangan dianggap tenaga honorer itu atas dasar kemauannya sendiri.
Hal ini dapat kita lihat, guru di pedalaman tidak ada, tenaga kesehatan di puskesmas tidak ada yang mengisi. Kemudian ia pulang sekolahan dari kota dan ia isi. Dalam hal ini, bagaimanakah penghargaan pemerintah kemudian?
"Makanya, kebijakan ini harus dipilah-pilah. Pada sektor administratif, sayasetuju karena menurutnya tidak terlalu mengalami kegoncangan. Namun pada sektor pendidikan dan kesehatan akan terjadi goncangan," tuturnya.
Tidak hanya itu, dalam konteks Pemerintahan Aceh misalnya. Sejak Undang-Undang (UU) pemerintah Aceh ditetapkan 2006 tidak pernah berpikir berdasarkan UU Pemerintahan Aceh. Kalau dilihat dari Pasal 118 UUPA mempunyai kewenangan untuk mengatur kepegawaian sendiri.
“Saya tanya apa punya? Ternyata kita tidak punya, 16 tahun berlalu tidak ada solusi apapun, kita samakan dengan provinsi lain, padahal Aceh punya kewenangan sendiri, kenapa kita tidak atur?” sebutnya.
Harusnya juga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), qanun-qanun itu dirancang apa saja yang dibutuhkan, tapi ini tidak dipikirkan. 10 ribu tenaga kontrak bisa kita tangani, dana otonomi khusus (otsus) banyak. Dana otsus ini dijadikan modal untuk usaha-usaha produktif dan sebagainya.
“Jangan dana otsus dibagi jadi paving blok, pagar masjid, pagar kuburan, pagar sekolah, ini jadi soal sebenarnya,” jelasnya
“Kita Aceh punya kemampuan lebih, tapi tidak kita gunakan. Ini aja soalnya sekarang,” tutupnya. [AU]