Pengamat Ingatkan Konsekuensi Bila KIP Aceh di Luar Ketentuan, Bisa Di-DKPP-kan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh akhirnya menetapkan tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dalam Provinsi Aceh tahun 2022.
Dalam rapat pleno tersebut, KIP Aceh juga turut mengundang KIP kabupaten/kota. Penetapan ini kemudian dituangkan dalam keputusan KIP Aceh Nomor 1/PP.01.2-Kpt/11/Prov/I/2021.
Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada mengingatkan kembali pihak penyelenggara pemilu lokal, yaitu KIP Aceh dan KIP Kabupaten Kota untuk tetap menunggu arahan dan instruksi dari KPU Pusat dalam hal penyelenggaraan Pilkada Aceh mendatang.
"Pertama harus diketahui, meskipun KIP Aceh memiliki otoritas dalam menentukan tahapan dan jadwal Pilkada Aceh, namun peraturan perundangan juga menjelaskan bahwa KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota merupakan satu manajemen kesatuan yang hirarkis dengan KPU Pusat," jelas Aryos kepada Dialeksis.com, Rabu (20/1/2021).
"Terlebih rezim Pilkada paska putusan MK kini sudah serentak nasional. Artinya penentuan jadwal dan tahapan itu juga harus melalui koordinasi dengan pihak KPU yang juga berwenang menentukan jadwal Pilkada serentak secara nasional," tambah Dosen FISIP USK itu.
Kemudian jelas Aryos, sejak era rezim Pilkada serentak maka kini Pilkada berbeda tata kelolanya. Pada era Pilkada serentak sejak UU Pilkada disahkan, Pilkada dibagi pergelombang dan dikordinasikan oleh KPU Pusat.
Aryos mencontohkan, gelombang Pilkada pertama dimulai tahun 2015 dan 2016. Kemudian Aceh masuk gelombang kedua tahun 2017. Menurutnya alasan Aceh tidak bisa mengikuti siklus Pemilu serentak lima tahunan seperti semula karena Indonesia kini telah memasuki rezim Pilkada serentak.
"Jadi, sejak pencanangan Pilkada serentak melalui UU Pilkada, seluruh tahapan Pilkada ditetapkan berdasarkan PKPU. Sejak rezim Pilkada serentak, tidak bisa lagi memulai tahapan sebelum ditetapkan oleh KPU RI," ungkap Aryos.
"Kalau kita lihat Pilkada Aceh tahun 2017 lalu, tidak ada tahapan Pilkada di Aceh pilkada 2017 lalu berdasarkan keputusan KIP Aceh semata, melainkan tahapan Pilkada Aceh 2017 berdasarkan PKPU 10 tahun 2017 tentang ketentuan khusus Pilkada Aceh, DKI dan Papua serta Papua Barat," jelas peneliti Jaringan Survei Inisiatif tersebut.
Aryos menuturkan, terlalu beresiko apabila tetap menggelar Pilkada Aceh, tanpa adanya koordinasi dengan pihak KPU pusat maupun pemerintah pusat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bila KIP Aceh tetap menetapkan Pilkada sepihak bisa melampaui kewenangan, bahkan cenderung abuse of power.
“Yang jelas, pelaksanaan Pilkada itu memerlukan keterlibatan banyak pihak. Terutama dari aspek penganggaran. Apabila pusat tidak menyetujui Pilkada Aceh diselenggarakan 2022 namun KIP ngotot menjalankan Pilkada maka akan beresiko terhadap konsekuensi penggunaan anggaran," jelas Aryos.
"Selain itu juga dapat saja diadukan ke DKPP karena dinilai telah menyalahi kode etik penyelenggara pemilu terutama dalam prinsip kepentingan umum," tambahnya.
Aryos menuturkan, dalam Pasal 19 huruf C Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, disebutkan dalam melaksanakan prinsip kepentingan umum, Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian Pasal 19 huruf e Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 disebutkan juga Penyelenggara Pemilu bersikap dan bertindak menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu.
Pihaknya mendesak agar KPU dan Mendagri memberikan kepastian agar tidak ditafsirkan berbeda di penyelenggara di KIP Aceh. Serta Meminta DKPP mengawasi penyelenggara yang terlalu maju dan tidak tunduk dengan aturan yang mengikat.