Penerima Beasiswa Terancam Jadi Tersangka, Penyidik Diminta Ungkap Pihak yang Menjadi Perantara
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
DIALEKSIS.COM | Aceh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi itu lumrah dilakukan jika hasil perhitungan kerugian keuangan negara telah selesai diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan dalam perkara kasus beasiswa pada tahun 2017 lalu tim Polda sudah melakukannya.
Hal itu merespons terhadap kasus yang tengah diperbincangkan oleh publik yang menanti apakah tim penyidik Dirreskrimsus Polda Aceh memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kasus yang sejak 2018 didalami pihak penyidik Polda.
Sampai kini, penyidik belum menetapkan tersangka. Bahkan teranyar, pihak penyidik mengungkapkan ada lebih dari 400 "mahasiswa" yang tidak memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa. Namun mereka tetap menerima beasiswa dan rela dana itu dipotong oleh Korlap.
Artinya lebih dari setengah penerima beasiswa anggaran tahun 2017 aspirasi DPRA, dianggap penyidik bermasalah. Dari 803 penerima beasiswa, ada lebih dari 400 yang diduga bermasalah oleh penyidik, tentunya nilai yang disalurkan Rp 19,6 miliar, banyak yang diterima oleh mereka yang tidak memenuhi syarat.
Askhalani menjelaskan, secara proses penyelidikan sebelum polisi menetapkan tersangka, maka upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara harus dilakukan terlebih dahulu, tujuannya untuk menyelamatkan uang negara.
"Tetapi dalam perkara tersebut hal subtansial dari fokus perkara bahwa adanya perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap unsur-unsur pidana korupsi yang dilakukan oleh siapapun harus dibuka oleh Polda Aceh," jelasnya kepada Dialeksis,com, Minggu (20/2/2022).
Menurutnya, hal itu sangat penting bukan hanya mendorong 400 mahasiswa untuk mengembalikan uang yang dianggap tidak sesuai prosedur, tetapi hal yang paling urgent adalah fakta-fakta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak lain yang menyebabkan terjadinya unsur pidana korupsi terencana juga menjadi suatu hal yang tidak boleh diabaikan.
Askhalani menilai, jika merujuk pada unsur perbuatan pidana tidak mungkin mahasiswa penerima beasiswa melakukan perbuatan melawan hukum secara langsung.
Karena, kata dia, ada pihak lain yang menjadi perantara lahirnya perbuatan tersebut yaitu anggota DPRA pemilik uang aspirasi, kemudian koordinator dari pihak perwakilan anggota DPRA yang menjadi aktor pengumpul uang, serta pihak dari Dinas BPSDM Aceh yang menjadi pihak pengelola uang serta melakukan verifikasi berkas terhadap para mahasiswa yang menerima uang beasiswa.
Dalam Undang-undang 31 tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi di Indonesia, jika merujuk pada pasal 2 dan 3 Jo pasal 55 KUHP maka unsur-unsur pidana terhadap perbuatan melawan hukum sangat detail dijelaskan, dimana salah satunya adalah adanya unsur perbuatan merencanakan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan dengan memperkaya diri sendiri dan orang lain, serta melakukan perbuatan atas nama jabatan dan kewenangan yang dimiliki, serta unsur-unsur lainnya.
"Berangkat dari fakta tersebut pihak Polda Aceh dalam penanganan perkara beasiswa ini sepertinya ada yang keliru, dimana hanya difokuskan pada unsur penerima lahirnya perbuatan pidana," ungkapnya.
Ia menambahkan, sedangkan pihak-pihak yang menyebabkan lahirnya perbuatan melawan hukum atau menimbulkan adanya unsur korupsi terencana menjadi diabaikan.
Hal itu, baginya tentu tidak logis dalam penyidikan dan penyelidikan perkara korupsi yang sedang ditangani, penguburan fakta pidana seperti ini akan menyebabkan kepercayaan publik terhadap polisi yang menangani perkara jadi menurun.
Apalagi, publik tahu bahwa adanya perbuatan korupsi terencana dalam kasus beasiswa murni dilakukan oleh oknum anggota DPRA pemilik dana aspirasi dengan menyuruh kepada orang lain yaitu kepada para koordinator yang ditunjuk oleh oknum anggota DPRA untuk pengumpul uang dari mahasiswa yang menerima beasiswa.