Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Seriuskah Penyidik Ungkap Kasus Dugaan Korupsi Beasiswa?

Seriuskah Penyidik Ungkap Kasus Dugaan Korupsi Beasiswa?

Minggu, 20 Februari 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

DIALEKSIS.COM |  Banda Aceh - Waktu tiga tahun bukanlah waktu singkat. Kalau diibaratkan menanam kopi, usia tiga tahun ini sudah panen Namun berbeda dengan kasus dugaan korupsi beasiswa di Aceh. Sudah tiga tahun dilakukan penyelidikan, hingga kini kasusnya belum ada penetapan tersangka.

Kemampuan penyidik Tipikor Polda Aceh sedang diuji. Publik menanti apakah tim penyidik Dirreskrimsus Polda Aceh memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kasus yang sejak 2018 didalami pihak penyidik Polda.

Sampai kini, penyidik belum menetapkan tersangka. Bahkan teranyar, pihak penyidik mengungkapkan ada lebih dari 400 “mahasiswa” yang tidak memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa. Namun mereka tetap menerima beasiswa dan rela dana itu dipotong oleh Korlap.

Artinya lebih dari setengah penerima beasiswa anggaran tahun 2017 aspirasi DPRA, dianggap penyidik bermasalah. Dari 803 penerima beasiswa, ada lebih dari 400 yang diduga bermasalah oleh penyidik, tentunya nilai yang disalurkan Rp 19,6 miliar, banyak yang diterima oleh mereka yang tidak memenuhi syarat.

Bagaikan mengurai benang kusut. Keseriusan penyidik dalam mengungkap kasus ini dinanti publik. Sudah tiga tahun berjalan, satusnya masih tahap lidik (penyelidikan) belum ditingkatkan ke sidik (penyidikan). Belum ada tersangka.

Dari data yang berhasil Dialeksis.com dapatkan, awalnya mereka yang akan menerima beasiswa ini jumlahnya mencapai 938 orang. Dari jumlah ini, 852 merupakan usulan anggota dewan. Namun setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, jumlah mahasiswa yang layak menerima beasiswa hanya 803 orang.

Mereka dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari D3, D4, S1, S2, dam S3, serta dokter spesialis, tersebar di lembaga penyelenggaran pendidikan (LPP) baik dalam maupun luar negeri. Anggaranya mencapai Rp 22,317,060,600. Dari nilai anggaran ini, yang terealisasi hanya Rp 19,854,000,000.

Bantuan yang patut kita acungkan jempol untuk meningkatkan SDM. Namun apakah semuanya tepat sasaran dan sampai kepada yang berhak menerimanya? Bagaikan menyimpan durian, aromanya akan tercium. Ada yang menerima secara utuh, ada yang dipotong, namun ada juga yang tidak disalurkan.

Menarik memang kisah perjalanan beasiswa di Aceh ini. Hasil verifikasi yang dilakukan Inspektorat Aceh, membuka tabir permainan ini. Dari 803 penerima beasiswa, pihak Inspektorat berhasil melakukan konfirmasi kepada 172 mahasiswa.

Nilai anggaran yang sudah disalurkan hanya Rp 5.209.000.00. Sementara Rp 1.147.500.000 , belum diterima mahasiswa. Inspektorat membuat persentase penyaluran beasiswa atas usulan dewan anggaran 2017.

Dari 172 penerima yang berhasil mereka konfirmasi, sebanyak 64% tidak menerima penuh uang tersebut. Ada yang sangkut. 33% menerima penuh, dan 3% tidak menerima sama sekali.

Dana yang belum tersalurkan itu berada ditangan penghubung/ coordinator. Indikasi fiktif dalam penyaluran ini terkuak. Dari 172 yang dikonfirmasi pihak inspektorat ada indikasi 3 persen fiktif. Bagaimana dengan penerima yang tertera dalam daftar, namun tidak berhasil atau tidak dikonfirmasi?

Menurut Inspektorat Aceh, selain bantuan pendidikan tidak sepenuhnya diterima, soal rekrutmen penerima bantuan beasiswa ini juga tanpa kerjasama dengan rektorat dan lembaga penyelenggara pendidikan.

Mahasiswa menerima bantuan pendidikan ada yang tidak sepenuhnya menggunakan bantuan itu untuk mendukung penyelesaian study. Penerima bantuan ini ada yang tidak memenuhi kualifikasi, serta bantuan itu tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Maka kini muncul angka lebih dari 400 “penerima” yang bermasalah seperti disebutkan Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol. Winardy dalam keterangannya, Kamis (17/2/2022). Mereka juga dapat ditetapkan sebagai tersangka, kecuali bila mereka segera mengembalikan dana beasiswa sebagai bentuk pengembalian kerugian negara.

Mengembalikan ke negara? Ada praktisi hukum meminta mahasiswa jangan latah mengembalikan uang tersebut, sebelum jelas status pengembalianya. Apakah benar sebagai pemulihan terhadap kerugian keuangan negara atau malah jadi dana titipan untuk dijadikan sebagai barang bukti oleh penyidik.

Menarik memang untuk ditelusuri, apalagi temuan Inspektorat Aceh sudah terang benderang mengungkapnya. Menurut Inspektorat, para penerima bantuan beasiswa ini karena sangat besarnya penghubung.

Siapa mereka? Apakah utusan dari mereka yang mengusulkan aspirasi ini? Publik, khususnya penerima beasiswa mengetahui siapa mereka dan bukan lagi rahasia umum. Penghubung juga mendapat bagian dari penyaluran beasiswa ini.

Beragam modus operandi yang dilakukan penghubung dengan penerima beasiswa. Ada dalam bentuk buku rekening dan ATM penerima dikuasai oleh penghubung. Ada versi penghubung meminta uang secara tunai kepada penerima.

Ada juga melalui transper yang dilakukan mahasiswa kepada penghubung. Namun ada juga yang nekat, penghubung membuat rekening atas nama mahasiswa tanpa sepengetahuan mahasiswa yang bersangkutan. Pemotongan yang dilakukan bervariatif dari Rp 7 juta sampai Rp 28 juta.

Namun temuan Inspektorat ini masih sulit digali lebih mendalam lagi. Menurut pihak Inspektorat rentang kendali dan sebaran mahasiswa di seluruh Indonesia dan luar negeri, salah satu kendalanya. Selain itu media komunikasi berupa nomor kontak, sudah tidak aktif lagi.

Temuan Inspektorat, ada juga mahasiswa yang tidak mengindahkan perintah Rektor, komunikasi mahasiswa dengan rektorat terputus. Selain itu komunikasi dengan penghubung juga sulit terbangun. Bahkan ada beban pshikologis dari mahasiswa, mereka mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tidak menjelaskan secara detil keadaan yang sebenarnya.

Hasil temuan itu, ahirnya membuat Inspektorat Aceh mengeluarkan rekomendasi, meminta kepada penyalur untuk mengembalikan uang tersebut ke kas daerah. Pihak Inspektorat menyerahkan persoalan itu kepada penegak hukum untuk penyelesaian selanjutnya.

Spontan hasil konfirmasi Inspektorat Aceh itu menjadi berita hangat dan ramai dibahas publik. Beragam statemen bermunculan. Pihak penyidik juga tidak tinggal diam “melacak” penyaluran dana beasiswa ini. Namun upaya yang dilakukan penyidik dari Polda Aceh sejak Maret 2018 sampai saat ini belum menetapkan tersangka.

Aspirasi siapa?

Publik juga ahirnya mengetahui aspirasi siapa beasiswa tahun anggaran 2017 ini? Dari data yang berhasil Dialeksis rangkum, tercatat 24 anggota DPRA sebagai pengusul bantuan beasiswa ini. Diantara 24 nama itu;

Iskandar Usman Al Farlaky mengusulkan senilai Rp 7,930 miliar untuk 341 penerima beasiswa. Dedi Safrizal, Rp 4,965 miliar (221 penerima). Rusli senilai Rp 1,045 miliar untuk 42 penerima. M Saleh, Rp 1,470 miliar untuk 54 mahasiswa.

Adam Mukhlis Rp 180 juta untuk 8 penerima. Tgk Saifuddin Rp 500 juta untuk 19 orang. Asib Amin Rp 109 juta untuk 8 orang. T Hardarsyah Rp 222 juta untuk 10 orang. Zulfadhli Rp 100 juta untuk 4 orang. Siti Nahziah Rp 120 juta untuk 9 mahasiswa, Muhibbussubri Rp 135 juta untuk 21 penerima.

Ada nama Jamidin Hamdani Rp 500 juta untuk 16 penerima, Hendriyono Rp 204,7 juta untuk 25 orang. Yahdi Hasan Rp 534,4 juta untuk 18 orang. Zulfikar Lidan Rp 90 juta untuk 3 orang, Amiruddin Rp 58 juta untuk 2 orang. Ummi Kalsum Rp 220 juta untuk 9 mahasiswa. Jamaluddin T Muku Rp 490 juta untuk 14 orang, Muhibbussabri Rp 440 juta untuk 13 mahasiswa.

Sulaiman Abda Rp 375 juta untuk 6 mahasiswa. Muharuddin Rp 50 juta untuk 2 orang, Asrizal H Asnawi Rp 80 juta untuk 2 mahasiswa. Azhari Rp 130 juta untuk 4 orang, Musannif Rp 30 juta untuk 1 orang. Sementara nilai dari non aspirator, mencapai Rp 2,317 miliar untuk 86 mahasiswa.

Namun setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, mahasiswa yang layak menerima beasiswa hanya 803, bukan seperti usulan awal yang mencapai 838 penerima. Anggaranya mencapai Rp 22,317,060,600. Dari nilai itu yang tersalurkan, Rp 19,854,000.000.

Kepastian Hukum

Pernyataan Kabid Humas Polda Aceh tentang lebih dari 400 mahasiswa yang “bermasalah” dalam menerima beasiswa ini ditanggapi serius oleh Alfian, Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). Alfian justru mempertanyakan kepastian hukum terhadap aktor pemberi beasiswa.

"Pertanyaannya bagaimana kepastian hukum terhadap aktor yang memberikan beasiswa yang tidak berhak tersebut? Apakah mau diselamatkan? Sehingga ada upaya menggiring opini seolah-olah yang mau ditetapkan tersangka adalah penerima yang tidak berhak," ujar Alfian, Kamis (17/2/2022).

"Seharusnya Polda Aceh segera menetapkan tersangka terhadap aktornya terlebih dahulu, sehingga proses hukum berjalan dan siapa pun yang patut ditetapkan tersangka wajib diproses," sambungnya.

Menurut Koordinator MaTA, publik Aceh masih belum lupa siapa saja aktor yang patut ditetapkan tersangka yang belum diumumkan. Hasil audit BPKP tentang kerugian negara sudah ada.

"Kalau hanya penerima yang tidak berhak saja yang mau ditetapkan tersangka maka patut diduga kasus tersebut telah disertir oleh parat elit yang diduga terlibat," ungkapnya.

Dalam catatan LSM MaTA, penanganan kasus dimaksud sudah 3 masa Kapolda Aceh, tapi belum ada kepastian hukum. Padahal, tegas dia, ketika audit kerugian sudah keluar maka penyidik dengan mudah untuk melakukan gelar perkara siapa yang terlibat.

"Kalau kerugian negara sudah ada, maka ibarat mobil udah terisi minyak dan siap jalan. Nah sekarang mobilnya kok tiba-tiba mogok? Kami mendukung langkah Polda Aceh dalam penanganan kasus korupsi secara utuh dan mengedepankan adanya kepastian hukum demi rasa keadilan terhadap rakyat Aceh," ujar Alfian.

Menurut Alfian, pihaknya sejak pertama kali pihak Polda melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut, selalu dimonitor termasuk terakhir Polda Aceh melakukan koordinasi dengan KPK.

"Kami dari awal menilai kasus ini murni terjadi korupsi dan diduga kuat terlibat elit politisi. Maka kita berhadap kepada Kapolda Aceh untuk menyelesaikan kasus korupsi tersebut secara utuh. Artinya siapan pun terlibat, termasuk yang menikmati aliran dana hasil pemotongan wajib mempertangung jawabkan perbuatannya," pungkas Alfian.

Pernyataan Alfian ini setelah adanya statemen Polda Aceh melalui Kabid Humas Kombes Pol. Winardy. Dimana pihak penyidik meminta para mahasiswa yang tidak berhak menerima dana beasiswa untuk mengembalikanya ke negara.

Menurut Kombes Pol Winardy, lebih dari 400 penerima beasiswa ini tidak memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa. Perbuatan mereka masuk perbuatan melawan hukum. Karena mereka mengetahui bahwa mereka tidak layak menerima beasiswa tersebut.

“Apalagi dengan mereka bersedia dana beasiswanya dipotong oleh para Korlap. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka sebetulnya memahami dan menyepakati bahwa mereka menerima dana beasiswa meskipun tidak memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa,” kata Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol. Winardy dalam keterangannya, Kamis (17/2/2022).

“Dengan demikian, memungkinkan mereka juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Kecuali bila mereka segera mengembalikan dana beasiswa yang diterimanya tersebut, dan hal itu adalah sebagai bentuk pengembalian kerugian negara,” sebutnya.

Penyidik, lanjut Winardy, menemukan ada lebih dari 400 orang mahasiswa yang berpotensi jadi tersangka. Karena penerima beasiswa ini tidak memenuhi syarat dan diketahui memberikan kickback kepada koordinator. Penyidik juga sudah memiliki daftar nama dan identitas ke-400 lebih penerima beasiswa tersebut.

“Mereka dinilai memiliki niat untuk melakukan pidana. Karena pada dasarnya mereka tahu kalau syaratnya tidak terpenuhi, tapi tetap memaksakan diri dengan cara memberikan sejumlah potongan agar bisa memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa,” katanya.

Sebenarnya, Winardy menjelaskan, jumlah calon tersangka ini juga merupakan satu kendala dalam merampungkan kasus ini. Para penerima rata-rata mahasiswa.Oleh karena itu, Polda Aceh masih memberikan kesempatan.

Khususnya kepada penerima beasiswa yang tidak memenuhi syarat untuk mengembalikan uang tersebut ke kas daerah, untuk menghindari banyaknya calon tersangka dan bisa fokus ke delik utama.

“Penyidik lebih mengutamakan agar kerugian negara dikembalikan daripada menghukum para mahasiswa yang menerima beasiswa tidak sesuai persyaratan,” ujarnya.

Winardy menjelaskan, saat ini sudah ada 38 orang mahasiswa telah mengembalikan beasiswa yang terlanjur diterima, dengan total pengembalikan uang Rp254.445.000.

Selain itu, pengembalian kerugian negara tersebut juga berasal dari korlap beasiswa sebesar Rp192.200.000. Sehingga total pengembalian kerugian negara dari kasus tersebut adalah Rp446.645.000.

“Kami memberikan apresiasi kepada mereka. Bagi yang belum mengembalikan, diimbau untuk segera mendatangi ke posko Ditreskrimsus Polda Aceh,” kata Winardy.

Winardy juga mengatakan, bahwa penetapan tersangka masih dalam proses pengkajian. Termasuk calon tersangka yang sudah diteliti secara prosedur, mereka salah tetapi tidak menerima kickback uang negara dari pemotongan beasiswa tersebut.

Namun, Polda Aceh tetap berkomitmen memproses kasus tersebut sesuai ketentuan dan rasa keadilan yang hakiki.Akan menetapkan tersangka dengan alat bukti yang cukup dalam waktu yang tidak beberapa lama lagi.

“Kita komitmen untuk tetap proses kasus ini, serta akan menetapkan tersangka dalam waktu dekat bila alat bukti sudah cukup,” imbuhnya.

Uang dikembalikan ke negara? Tunggu dulu, simak juga pendapatkan pakar hukum. Menurut Advokat, Kasibun Daulay, dalam keterangan kepada Dialeksis.com, Sabtu (19/2/2022), menyebutkan tidak seharusnya mahasiswa latah mengembalikan uang tersebut.

“Sebelum jelas status pengembalian tersebut, apakah benar sebagai pemulihan terhadap kerugian keuangan negara atau malah jadi dana titipan untuk dijadikan sebagai barang bukti oleh penyidik,” sebut Kasibun.

Kalau merujuk kepada KUHAP sudah seharusnya, kasus yang sedang dilakukan penyidikan tidak perlu ada vestifalisasi atau publikasi yang berlebihan.sebut Kasibun.

Karena, penyidikan itu sendiri berfungsi untuk membuat terangnya tentang tindak pidana dan guna menemukan tersangkanya dengan memakai cara yang sesuai dengan hukum," jelasnya.

Kalau terjadi vestifalisasi dan publikasi yang berlebihan, sebut Kasibun Daulay, bagaimana mungkin ada kepastian hukum untuk menemukan orang yang bertanggung jawab terhadap dugaan tindak pidana tersebut secara tepat dan sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya.

"Dalam tindak pidana korupsi, penyidik harus menentukan tersangka yang tepat sebagai orang yang secara fakta hukum diduga kuat bertanggung jawab atas terjadinya kerugian keuangan dan atau perekonomian negara.

Sehingga, penyidikan dan proses hukum tersebut dapat menghadirkan keadilan absolut buat pelaku, masyarakat serta negara," jelas Kasibun.

Menurut Advokat ini, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi beasiswa sudah seharusnya penyidik Polda menyelesaikan penyidikannya dengan tuntas. Jangan sampai masuk angin dan diintervesi oleh kepentingan diluar kepentingan penegakan hukum itu sendiri.

"Bersama sama dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah seharusnya kasus tersebut di P21 atau berkasnya dianggap lengkap dan dilakukan pelimpahan tahap II," katanya.

Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) tidak seharusnya terlibat kepentingan politik dalam proses penangan perkara. Sehingga perkara tersebut bisa disidik dengan tuntas dan dilimpahkan ke pengadilan Tipikor.

Kemudian memproleh kepastian hukum dan bila terbukti secara meyakinkan, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dan para terdakwa menjalani pertanggungjawaban sesuai dengan hukum.

"Semua orang yang bersalah harus diperlakukan sama didepan hukum atau asas equality before the law tidak boleh ada yang diistimewakan. Apakah dia pejabat negara, anggota legislative dan juga mungkin mahasiswa, kalau menikmati uang negara secara melawan hukum harus diproses, jangan dibiarkan," ujarnya.

Namun, kata Kasibun, jangan sampai terjadi lapisan terbawah yang diproses hingga pengadilan, sementara aktor intellektual dan penikmat uang negara tersebut malah dibiarkan.

"Penyidik polda Aceh menurut hemat kami, selain dapat menerapkan UU Tipikor dalam kasus ini, sudah seharusnya juga melihat kemungkinan ada tindak pidana pencucian uang atau TPPU dalam perkara beasiswa ini,” sebutnya.

Kapan penyidik akan menetapkan tersangka? Pertanyaan itu sudah lama dinanti publik jawabanya. Karena kasus ini sudah diendus pihak penyidik sejak tahun 2018.

Kini sudah tiga tahun lebih, ratusan saksi sudah diminta keteranganya, namun sampai 2022 masih sebagai sebatas komitmen akan menetapkan tersangka.

Publik menanti keseriusan penyidik Tipikor Polda Aceh dalam mengungkapkan kasus beasiswa yang sudah lama hingar bingar dibahas. Namun sampai kapan, adanya kepastian hukum? **** Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda