Pemilu Proporsional Tertutup Tak Menjamin Keterwakilan Perempuan di Parlemen Jadi Lebih Banyak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Akademisi Universitas Abulyatama, Edwar M Nur. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di Indonesia sudah ada kebijakan afirmasi atau kuota 30 persen untuk perempuan. Merujuk pada data Komisi Independen Pemilihan (KIP), ternyata keterwakilan politisi perempuan di parlemen masih sangat sedikit sekali.
Pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di parlemen DPR Aceh hanya delapan orang dari 81 kursi atau tingkat keterwakilannya hanya 11 persen.
Begitu pula seperti di Pidie (17,5 persen), Langsa (16 persen), Lhokseumawe (16 persen), Banda Aceh (13 persen) dan sebagainya. Kecuali di Aceh Tamiang yang keterwakilan perempuan di parlemen jumlahnya cukup tinggi, yaitu berada di angka 36,6 persen.
Lantas, apakah dengan sistem Pemilu proporsional tertutup bakal membuat jumlah keterwakilan perempuan di parlemen meningkat, lantaran penentuan politisi yang menduduki kursi dewan ditentukan partai?
Menjawab hal tersebut, Akademisi Universitas Abulyatama, Edwar M Nur menyatakan, sistem Pemilu proporsional tertutup juga tidak menjamin persentase perempuan di parlemen.
Menurutnya, di sistem proporsional tertutup, keterwakilan perempuan di parlemen juga sangat ditentukan oleh kebijakan policy partai politik.
Kata dia, partai politik juga tidak diharuskan harus memberi hak suara partai kepada perempuan.
“Di sistem proporsional tertutup, nggak ada keharusan partai memberikan suara kepada perempuan. Jadi tidak menjamin juga untuk keterwakilan perempuan di parlemen,” jelas Edwar kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (11/1/2023).
Edwar menuturkan bahwa keterwakilan perempuan hanyalah sebuah pemenuhan unsur sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Di sisi lain, akademisi itu menyebut bahwa jumlah pemilih perempuan di Pemilu sebelumnya lebih banyak ketimbang laki-laki. Faktanya, dengan banyaknya pemilih perempuan juga pada akhirnya tidak menghasilkan kandidat perempuan terpilih lebih banyak.
“Kalau kita bandingkan seperti itu, harusnya kan perempuan terpilih lebih banyak. Tapi faktanya kan tidak seperti itu,” tuturnya.
Edwar mengatakan, kompetensi diri politisi perempuan sangat menentukan arah karier politik si perempuan. Kader perempuan harus bisa meningkatkan kualitas politiknya sehingga mampu membuka peluang untuk masuk ke dalam sistem parlemen.
Kualitas politik perempuan menurut Edwar juga sangat ditentukan oleh pendidikan kader oleh partai politik. Partai politik punya andil dalam memberdayakan politisi perempuan.
“Partai politik tidak hanya melihat dari unsur kauntitas, tetapi dari segi kualitas politik. Pemberdayaan kualitas politik perempuan ini bisa dilakukan partai politik, semisal rekrutmen kader perempuan lebih terbuka. Dengan kesempatan karier politik yang lebih terbuka, mungkin bisa saja membuka peluang perempuan untuk bisa lebih banyak di parlemen,” pungkasnya.(Akh)