Beranda / Berita / Aceh / Pemerintah Kurang Optimal Tangani Refugee Rohingya

Pemerintah Kurang Optimal Tangani Refugee Rohingya

Senin, 28 Maret 2022 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komnas HAM telah memperhatikan dengan seksama terkait peristiwa terdamparnya pengungsi etnis Rohingya yang berulang kali terjadi di kawasan perairan Aceh. Dua peristiwa terakhir adalah tindak lanjut penanganan pengungsi Rohingya yang sudah ditampung sementara di Balai Latihan Kerja (BLK) Kota Lhokseumawe serta penanganan 114 orang pengungsi etnis Rohingya yang terdampar di perairan Bireuen pada 6 Maret 2022.

Hal ini diungkapkan oleh Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama berdasarkan keterangan rilisnya yang diterima Dialeksis.com, Senin (28/3/2022).

Menindaklanjutinya Komnas HAM telah melakukan kunjungan pemantauan ke Lhokseumawe pada tanggal 10-11 Maret 2022 dan Bireuen pada tanggal 23 Maret 2022. Pemantauan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 89 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam kunjungan pemantauan tersebut Komnas HAM telah meninjau lokasi penampungan pengungsi sementara dan melakukan pertemuan dengan berbagai pihak diantaranya Pemerintah Kota Lhokseumawe, Pemerintah Kabupaten Bireuen, Camat Jangka Perwakilan UNHCR, Perwakilan IOM serta para relawan yang tergabung dalam LSM dan komunitas lokal yang selama ini terlibat aktif dalam membantu penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas, Komnas HAM Perwakilan Aceh menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak, yaitu:

1. Pengungsi Rohingya yang tersisa di BLK Kota Lhokseumawe berjumlah jumlah 41 orang pengungsi. Perempuan dewasa 11 orang, laki-laki dewasa 11 orang, anak laki-laki 3 orang dan anak perempuan 16 orang. Sedangkan total pengungsi yang kabur dari tempat penampungan adalah 67 orang;

2. Sebanyak 114 orang pengungsi Rohingya yang terdampar pada 6 Maret 2022 di Kabupaten Bireuen ditempatkan secara darurat di Menasah Gampong Alue Buya Pasi, Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen yang kemudian dievakuasi ke Aula Kantor Camat Jangka. Sebanyak 114 pengungsi Rohingya tersebut terdiri dari 44 perempuan dan 70 laki-laki dengan klasifikasi 40 orang diantaranya anak-anak dan 74 orang dewasa. 33 orang diantara anak-anak tersebut tanpa pedampingan. Lokasi dan tempat yang bersifat darurat dan sementara dinilai tidak layak untuk penanganan tahap berikutnya oleh UNHCR dan IOM;

3. Terjadi persoalan ketidakpastian mengenai penempatan para pengungsi Rohingya ke lokasi penampungan utama mengingat para pengungsi yang ditempatkan di BLK Kota Lhokseumawe dan di Kabupaten Bireuen hanya bersifat sementara dan hanya dalam kondisi darurat. Saat ini terjadi kecenderungan resistensi dalam penerimaan penempatan sementara di daerah-daerah dimana pengungsi terdampar dan akan ditempatkan sementara. Untuk itu perlu adanya kejelasan mekanisme penerimaan, penempatan, dan penanganan yang terkoordinasi dengan tertib dan baik oleh Pemerintah;

4. Para pengungsi Rohingya yang terus masuk ke wilayah Indonesia khususnya perairan Aceh diduga terjadi karena adanya keterlibatan penyelundup jaringan internasional (smuggler) dan sudah mengetahui situasi dan kondisi perairan Indonesia sehingga dengan mudah beroperasi di perairan Indonesia dan menjadikan para pengungsi Rohingya sebagai korban kejahatan seperti penyelundupan manusia atau perdagangan orang (human trafficking) dan tindak pidana lainnya. Kejahatan-kejahatan serupa juga meningkat saat para pengungsi telah dalam penanganan di tempat penampungan sementara sehingga diperlukan peningkatan kewaspadaan, pencegahan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum;

5. Penanganan pengungsi Etnis Rohingya yang telah berulang kali terdampar di Aceh, pada akhirnya tidak memiliki kejelasan dan bahkan tempat-tempat penampungan sementara para pengungsi yang telah terdata tersebut tidak terurus dan para pengungsi melarikan diri dari lokasi penampungan sementara. Bahwa dampak dari ketidakjelasan penanganan para refugee tersebut adalah potensi kehilangan hak asasinya sebagai manusia, stateless dan bahkan para pengungsi akan rentan untuk menjadi korban kejahatan seperti human trafficking dan kejahatan lainnya;

6. Bahwa sesuai surat Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI, Nomor B-708/KM.00.02/3/2022 tertanggal 16 Maret 2022 perihal perintah pemindahan segera pengungsi Rohingya di Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe ke Kota Pekanbaru Provinsi Riau, semua pihak diharapkan dapat membantu memperlancar proses pemindahan sesuai dengan rekomendasi tersebut sebagai bagian dari kewajiban dan tanggungjawab dalam penanganan pengungsi;

7. Komnas HAM mendukung pemerintah untuk melakukan ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan protokol 1967, dan atau setidak-tidaknya membentuk undang-undang khusus untuk penanganan refugee di Indonesia. Pemerintah pusat dan Daerah berkewajiban untuk memfasilitasi kebutuhan dasar dan perlindungan atas hak asasi manusia bagi refugee etnis rohingya. Penanganan bagi pengungsi tersebut dapat dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri;

8. Secara khusus Komnas HAM menyampaikan saran dan rekomendasi kepada Pemerintah Aceh untuk :

8.1. Menerima dan memfasilitasi terkait penanganan sementara terhadap Pengungsi Luar Negeri dengan mengacu pada ketentuan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Proses penerimaan dan fasilitasi oleh Pemerintah Aceh dibutuhkan dalam rangka menghindari terjadinya tindakan yang bersifat resistensi atas kedatangan dan keberadaan para pengungsi yang mulai cenderung terjadi dalam penanganan pengungsi di daerah-daerah dimana pengungsi terdampar dan ditangani sementara;

8.2. Segera membentuk Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 300/2307/SJ tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri di Provinsi. Hal ini sangat mendesak karena proses penanganan sementara pengungsi akan terkendali dan terkoordinasi dengan tertib dan baik antar pemerintah dan stakeholder;

8.3. Menyusun peraturan daerah (Qanun) dan meminta setiap Kabupaten/Kota bersinergi dan menyusun Qanun yang sama sebagai turunan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri sehingga kebutuhan anggaran dalam penanganan pengungsi saat ini dan dimasa mendatang dapat teranggarkan dengan baik.

9. Rekomendasi ini kami sampaikan karena mengingat Pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab dalam melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda