Pemerintah Harus Optimal, Agar Nilai Sejarah, Budaya Aceh Tak Pernah Punah
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Budayawan Aceh, Tarmizi. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peninggalan beberapa benda sejarah dan bukti kedasyatan Tsunami Aceh merupakan sebuah hal yang harus di perhatikan secara luas dan harus dijadikan sebuah historical penting untuk generasi selanjutnya.
Budayawan Aceh, Tarmizi mengatakan, dalam rangka kita refleksi mengingat kejadian Tsunami yang ke-17 dan akan masuk tahun ke-18 setidaknya kita harus mengingat atau relfeksi apa yang masih tertinggal di benak kita, terutama peristiwa-peristiwa yang ALLAH berikan kepada dalam bentuk peringatan dan ujian bagi orang-orang yang sanggup menerimannya.
“Menyangkut dengan peristiwa Tsunami pada tahun 2004, memang banyak sekali menyisakan tempat-tempat yang seharusnya dijadikan sebagai tempat refleksi bagi kita, yang bahwasannya supaya kita mengingat terus tentang peristiwa tersebut, artinya jika tidak dibuat suatu ‘Prasasti’ atau monumen-monemun tertentu terhadap Tsunami 2004 terhadap genarasi selanjutnya, itu akan punah dan lupa semuanya,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Selasa (14/12/2021).
Dirinya juga menjelaskan, dan juga peninggalan Tsunami itu merupakan suatu hal yang sangat potensial juga untuk dijadikan kawasan parawisata atau lokasi wisata. “Karena kejadian Tsunami 2004 itu cukup mengetarkan seluruh dunia, bahkan dunia juga melihat warna buram terhadap Aceh setelah kejadian Tsunami, dalam penataan atau sebagainya. Sehingga dunia memperhatikan Aceh, dalam membantu, merekontruksi, membangun mental-mental orang yang selamat,” sebutnya.
Selanjutnya, Tarmizi mengatakan, Dunia yang seperti itu terhadap Aceh, disini timbul pertanyaan Aceh itu sendiri bagaimana sekarang?, “Ini yang harus kita perbincangkan, ada tidak Aceh berterima kasih kepada dunia yang dimana mereka telah membantu Aceh selama masa rehab kejadian Tsunami 2004,” tukasnya.
Oleh karenanya, Tarmizi mengatakan, saat ini rasa terima kasih itu hanya sebatas bentuk batu ‘Prasasti’ yang diletakkan di sekliling lapangan Blang Padang, Banda Aceh. “Jadi belum maksimal, karena itu harus dimaksimalkan kembali, kemudian, kedua, agar dunia tidak lupa kepada Aceh, tiap tahun refleksi Tsunami itu harus diberikan seperti penghormatan atau ucapan terima kasih dari pemerintah, artinya disini pemerintah itu adalah Presiden Republik Indonesia mengucapkan terima kasih selalu kepada dunia karena telah membantu merekontruksi Aceh,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ia menyampaikan, terhadap peninggalan Tsunami itu tersendiri merupakan sebuah Icon. “Itu suatu hal yang penting juga, Cuma yang kita sayangkan, banyak peninggalan itu direkontruksi atau sudah hilang, kita terlambat sadar akan hal itu, padahal ini adalah sebagai sebuah kesempatan dan sebuah objek yang layak untuk dijual (Promosi Wisata) kepada dunia, karena disitu memiliki catatan sejarah yang tinggi,” jelasnya.
Untuk saat ini yang bisa kita andalkan sekarang, kata Tarmizi, seperti makam umum (Massal), Museum Tsunami, Kapal perahu diatas di kawasan Lampulo, PLTD Apung. “Padahal masih banyak sekali benda-benda lainnya yang bisa dijadikan sebuah ajang dalam pengembangan objek wisata dari peninggalan Tsunami 2004, misal dibuatnya sebuah pameran dari refleksi Tsunami 2004 setiap tahunnya,” ujarnya.
“Artinya, peristiwa masa lalu itu tidak pernah dilupakan,” tambahnya lagi.
Tarmizi menjelaskan, nilai sutau benda atau dalam Arkeopologi terhitung dengan umur 50 tahun, dan peninggalan itu mengandung nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sangat kuat, nah untuk menyelamatkan itu semua, sering-sering perlu dilakukan sosialisasi terhadap peninggalan itu sendiri, sejarah Aceh, pentingnya sosialisasi ke arifan lokal.
“Sebenarnya yang harus menggerakan hal ini lebih resmi itu adalah pemerintah itu sendiri. Karena disitu ada UU No. 11 Tahun 2010, jadi tidak ada yang diabaikan disitu,” sebutnya.
Jika kita berbicara terhadap benda-benda yang ada di Aceh, Tarmizi mengatakan, banyak sekali jumlah. “Namun tak ada yang memperhatikan secara luas terhadap hal itu, jadi bisa dikatakan ini sudah menyia-nyiakan sesuatu yang sudah ada, namun kita (Aceh) selalu mencari yang tidak ada. Sebenarnya cara anak muda saat ini bisa melakukannya dengan cara membuat komunitas dan menyadarkan orang-orang yang mentelantarkan benda-benda tersebut, kemudian sering-sering mengikuti sosialisasi, pelatihan-pelatihan baik dipariwisata, atau lainnya yang ada di Banda Aceh,” jelas Tarmizi.
“Hal itu sebenarnya sudah dilakukan oleh komunitas Mapesa Aceh, komunitas tersebut tidak ada yang bantu oleh siapapun, cuman atas keinginan sendiri untuk menyelamatkan artefak yang terbengkalai,” tambahnya.
Seandainya, kata Tarmizi, Aceh fokus terhadap hal-hal peninggalan bersejarah di Aceh, diyakinkan Aceh bisa mengalahkan kota-kota besar di dunia.
“Jika saat ini kita hanya berfokus dengan moderenisasi, maka apa yang unik, apa yang mengandung nilai-nilai budaya dan adat. Seperti Peunayong yang saat ini dijadikan pasar modern, seharusnya Peunayong itu bisa didesain dengan sedemikian rupa atau sebagai lokasi kota paling tua di Aceh, jadi itu menjadi suatu hal yang menarik untuk semua orang. jika semua didesain atau di moderinisasi apa yang mau dilihat? Apa yang unik disini? Apa yang mengandung nilai-nilai adat setempat? Mana yang mengandung nilai-nilai sejarah dari ke Aceh-an itu sendiri, jadi harus dioptimalkan disegala lini, agar nilai budaya dan sejarah dan kearifan lokal Aceh itu tidak hilang akan zaman,” pungkasnya. [ftr]