kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pemerhati Anak Ungkap Penyebab Terjadinya Kasus Incest

Pemerhati Anak Ungkap Penyebab Terjadinya Kasus Incest

Rabu, 10 Agustus 2022 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Pemerhati Anak, Ayu Ningsih. [Foto: Dialeksis/Achmad]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus pemerkosaan anak masih marak terjadi di Aceh pada tahun ini. Hal ini terlihat dari fakta perkara yang masuk ke Mahkamah Syariyah (MS). 

Tercatat, sepanjang tahun 2022, ada sembilan kasus pemerkosaan terhadap anak masuk ke Mahkamah Syariyah Jantho.

Ironisnya, empat perkara di antaranya bahkan dilakukan oleh pelaku yang masih ada hubungan darah atau incest.

Menanggapi hal itu, mantan Komisioner Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan, bentuk pemerkosaan dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik oleh korban dan terjadi pada situasi-situasi tertentu yang diciptakan oleh kedua belah pihak itu disebut seductive rape.

“Biasanya terjadi secara spontanitas karena pelaku merasa terangsang secara spontanitas untuk melakukan perkosaan terhadap korban dan terjadi dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya yang tidak mampu menolak,” kata Ayu kepada Dialeksis.com, Rabu (10/8/2022).

Tindakan perkosaan atau kejahatan seksual ini, kata dia, secara umum dialami oleh perempuan yang masih anak-anak atau remaja, pelaku dan korban umumnya berasal dari stratifikasi sosial yang rendah.

Kasus incest menggambarkan, ketidakberdayaan korban atas pelaku, baik pelaku orang tua maupun sesama saudara.

Relasi kuasa yang tidak setara menempatkan korban dalam posisi yang sangat lemah. Korban tidak punya kuasa memberontak dan menolak.

Menurut Pemerhati Anak itu, kasus incest terjadi seiring dengan penurunan moral orang tua atau juga dapat disebabkan karena retaknya hubungan kedua orang tua yang mengakibatkan anak menjadi korban.

“Kemudian disharmonisasi dalam keluarga mengakibatkan celah yang dapat digunakan oleh pelaku untuk melakukan incest dengan anggota keluarga lainnya,” jelasnya.

Selain itu, bisa juga disebabkan dengan faktor internal (biologis, psikologis) dan faktor eksternal seperti ekonomi keluarga, tingkat pendidikan dan pengetahuan rendah, minim pemahaman agama, penerapan kaidah, dan norma agama yang tidak diketahui.

“Penyalahgunaan teknologi informasi atau terpapar konten pornografi dan kurangnya pengawasan terhadap anak-anaknya merupakan hal yang mendasari terjadinya incest,” ungkapnya. Biasanya kasus incest sangat jarang dilaporkan karena dianggap akan membuka aib keluarga, walaupun ada yang melaporkan ke kepolisian, biasanya akan menimbulkan konflik dan perpecahan keluarga.

Hal itu, kata dia, menyebabkan kasus-kasus incest lebih banyak diselesaikan secara kekeluargaan dan belum memberikan keadilan bagi korban.

“Orangtua dan masyarakat harus senantiasa waspadai terhadap kasus-kasus incest dan kekerasan seksual terhadap anak yang semakian marak terjadi,” imbuhnya.

Ia meminta, pemerintah segera mencanangkan kewajiban setiap desa untuk membangun Gerakan Perlindungan Anak melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak atau dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes).

“Itu merupakan kewajiban anggota masyarakat desa untuk saling menjaga dan melindungi anak, sebagai sebuah kontrol sesama masyarakat yang idealnya hidup berdampingan dan bertetangga di suatu lingkungan dapat menjadi upaya pencegahan yang paling efektif,” jelasnya lagi.

Ayu menjelaskan, kekerasan seksual dalam bentuk incest seharusnya mendapat perhatian yang intensif serta penanganan yang serius dari pemerintah.

Sebutnya, seperti dengan melakukan rehabilitasi medis dan pendampingan yang akan dilakukan sampai tuntas, memberikan dampingan psikologis bagi korban, membuka layanan hot line darurat untuk menerima pengaduan dari masyarakat, membuat kelompok pendukung gerakan anti incest pada anak, pencegahan lainnya dapat dilakukan melalui edukasi dalam membangun ketahanan keluarga, pengetahuan tentang hak anak dan tanggung jawabnya.

“Mengajarkan kesehatan reproduksi kepada anak menjadi bagian penting. Anak diajarkan agar mengerti ada bagian tubuh yang tidak boleh disentuh sekalipun oleh orang dekat,” kata Ayu.

Pemberian pemahaman ini dilakukan seiring dengan nalar, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Anak juga diajarkan untuk segera melaporkan dan mencari pertolongan jika mengalami kekerasan seksual. (Nor)


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda