Beranda / Berita / Aceh / Pantai Lhok Nga yang Tidak Asri Lagi

Pantai Lhok Nga yang Tidak Asri Lagi

Minggu, 30 Desember 2018 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM I Jantho - Bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar tidak asing lagi dengan tujuan wisata pantai seperti pantai pantai Cermin, Pantai Ujong Batee, Krueng Raya, Lhok Nga, Lampuuk atau Lhok Seudu. Pilihan wisata ke pantai adalah yang paling realistik bagi warga menengah dan rendah pendapatan ketika berlibur ke luar kota tidak cukup murah di ongkos.

Bahkan sebenarnya warga Banda Aceh tidak takut mengunjungi pantai, meskipun hampir semua garis pantai Aceh Besar pernah hancur dihantam tsunami 26 Desember 2004. Demikian pula ketika baru saja terjadi tsunami di Pantai Utara Banten dan selatan Lampung akibat erupsi vulkanik dan longsoran Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 22 Desember lalu, yang telah menewaskan 341 jiwa dan lebih 1700 orang luka-luka, pantai tetap dipenuhi warga.

Hal itu terlihat pada pemandangan di Sabtu sore (29/12) di Pantai Lhok Nga, Aceh Besar. Salah satu tujuan favorit warga di Lhok Nga adalah Pantai Kolam yang sejak sebelum tsunami telah menjadi tujuan utama wisata pantai. 

Pantai Kolam sebenarnya telah terkenal sejak tahun 80-an. Ia terbentuk oleh karang secara alami dengan bentuk letter "n" atau seperti ladam kuda. Adanya karang membuat ombak terhambat sehingga memecah, dan juga menghambat air surut sehingga bagi anak-anak yang belum bisa berenang sangat aman dari resiko tenggelam.

Pasca-tsunami, wujud Pantai Kolam berubah. Hantaman air bah sekuat dua kali seluruh energi ledak perang dunia kedua itu ikut mengubah struktur pantai. Meskipun tidak lagi berwujud ladam kuda, pantai ini tetap menjadi wisata laut paling aman untuk mandi dan berendam di Lhok Nga.

Sayangnya, pantai-pantai di Aceh Besar tidak dikelola secara baik. Meskipun ada retribusi masuk, para pengelola kurang tanggap dalam mengelola sampah. Sampah kerap bertebaran sehingga merusak pemandangan. 

Ini sesungguhnya bukan salah pengelola semata. Para pengunjung yang menikmati pantai juga tidak menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mereka malah menjadi kontributor utama sampah, bahkan ikut membawa wadah makanan dari plastik hingga ke bibir pantai. Perilaku primitif ini harus segera diganti dengan tradisi yang lebih menghargai pantai dan laut sebagai sahabat bagi masyarakat maritim.

Jadi itu juga menjadi film Aquaman (2018), dimana sosok raja Atlantis yang diperankan Jason Momoa yang marah dengan perilaku makhluk darat yang terus mencemari laut dan membuat banyak makhluk laut teracuni, sakit, dan mati sia-sia. Seperti kasus Paus Sperma di Wakatobi dan Penyu Belimbing di laut Jawa yang akhirnya mati dan di perutnya yang terburai terkandung sampah plastik, logam, dan rumah tangga. 

Kasihanilah laut kita. (tkf)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda