kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Otto Syamsuddin Ishak: Aceh Adalah Provinsi Gagal

Otto Syamsuddin Ishak: Aceh Adalah Provinsi Gagal

Senin, 16 Agustus 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Agam K

Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam momentum perjalanan 16 tahun perdamaian Aceh, maka kita harus merenungi kembali apa yang menjadi mimpi-mimpi politik Aceh, khususnya yang dulunya dikampanyekan oleh pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Mengapa hal itu penting, Sosiolog, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr. Otto Syamsuddin Ishak mengatakan, hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah juga untuk merenungkan kembali ucapan juru runding GAM, pada saat perundingan di Helsinky.

“Misalnya mereka berdebat soal Self-determination, lalu mengatakan Aceh akan seperti Singapura dan Hongkong kira-kira begitu." 

Ketiga, yang selalu mereka kampanyekan bahwa menyoe aweuk ka bak jaroe droe bamandum jeut tapeuget (kalau alat centong sudah di tangan kita semua bisa kita buat). Boh labu jeut keu asokaya (buah lalbu bisa menjadi srikaya),” ujar Otto kepada dialeksis.com, Minggu (15/8/2021).

Otto kembali menjelaskan, saat sekarang ini paska MoU Helsinky maka secara umum parlemen di setiap kabupaten dan kota, pasti banyak dari Partai Aceh, kita lihat sebagian kepada daerah di kabupaten dan kota, juga banyak dari Partai Aceh.

Begitu juga apabila dilihat pada tingkat provinsi, sebagian besar anggota parlemen DPRA dari Partai Aceh, eksekutifnya, Irwandi Yusuf, Zaini Abdullah, bahkan Muzakir Manaf di dalam, kemudian Irwandi kembali dan disambung oleh Nova Iriansyah (Partai Demokrat) semuanya adalah orang dari Partai Aceh, sekaligus tercatat sebagai pejuang GAM.

“Tapi apa yang terjadi dalam kenyataan sekarang, kita bisa lihat misalnya sisa anggaran tetap terjadi setiap tahun, kalau itu merupakan gunung es maka di bawa itu menjelaskan ada kordinasi yang buruk antar institusi yang ada di Aceh, dan adanya kemiskinan serta pengangguran," tutur Otto.

Dirinya menambahkan, kordinasi yang buruk itu secara horizontal antara eksekutif dan legislatif, antar SKPA, antara lembaga lama dan baru yang dibentuk karena adanya mandat UUPA, seperti Lembaga Wali Nanggroe, yakni bagaimana koordinasinya dengan Majelis Pendidikan, adat dan Majelis Ulama.

Ia menegaskan, dibalik koordinasi yang jelek, maka ada angka-angka kemiskinan yang waktu BRR bisa diturunkan kemiskinannya sebesar 2 persen dalam setiap tahun, tetapi ketika BRR selesai kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Aceh, ternyata angka kemiskinan yang menurun hanya nol koma persen saja.

Maka bisa disimpulkan bahwa sangat buruk kebijakan pembangunan, karena tidak menyelesaikan persoalan di akar rumput. 

Jika dikaitkan kias pribahasa dalam bahasa Aceh berarti: asoekaya kajeut keu boh labu (srikaya malah jadi buah labu). Kalau ada istilah negara gagal, maka sekarang untuk Aceh dapat disebut sebagai provinsi yang gagal.

Otto Syamsuddin juga menyarankan agar struktur pemerintah di aceh harus di evalusi, sehingga harus diketahui dimana persoalan sehingga proses koordinasi menjadi macet. Apakah distribusi kekuasaan tidak baik atau sumber daya manusia yang tidak tepat.

Semua qanun yang menjadi payung legalnya juga harus dievaluasi, sejauhmana kecocokaannya denga UUPA dan MoU Helsinky. Ia juga mengusulkan agar semua produk qanun di Aceh berdasarkan Maqasid Syariah, karena konteks Aceh merupakan konteksi negeri Syariah.

“Setelah saya baca-baca tentang Maqasid Syariah sangat cocok dengan konteks nasional, karena tidak radikal. Bahkan ia menjadikan Aceh yang inklusif. Tetapi kalau berdasarkan perspektif qanun yang dipakai sekarang, katakanlah yang berkaitan dengan Qanuan Syariat itu, tidak jelas perspektifnya, apakah pakai Maqasid atau perspektif kuno ushul fiqih, itu contohnya,” tutup Otto mengakhiri.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda