Ormas Islam Berbasis Dayah Sepakat Usulkan Abu Krueng Kalee dan Abuya Muda Wali Jadi Pahlawan Nasional
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah Ormas Islam berbasis Dayah sepakat mengusulkan dua ulama besar Aceh, yakni Abu Krueng Kalee dan Abuya Muda Waly jadi Pahlawan Nasional. Hal ini disepakati dalam Kajian Aktual Tastafi yang berlangsung di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh, Minggu (27/8/2023) malam.
Kajian tersebut mengangkat Tema "Kontribusi Besar Ulama Aceh dalam Mewujudkan dan Merawat Kemerdekaan Indonesia". Kajian ini terlaksana berkat kerjasama sejumlah Ormas Islam yang ada di Aceh dan pihak manajemen Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh. Juga didukung oleh Bank Syariah Indonesia (BSI).
Adapun Ormas Islam berbasis Dayah yang terlibat dalam Kajian Aktual Tastafi ini yaitu DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tastafi Kota Banda Aceh, dan HIPSI Aceh. Acara yang dihadiri ratusan peserta ini dipandu oleh Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.A.
Ketua Umum DPP ISAD Aceh selaku penanggungjawab acara, Tgk Mustafa Husen Woyla, S.Pd.I dalam sambutannya mengatakan bahwa tema yang diangkat terkait "Kontribusi Besar Ulama Aceh dalam Mewujudkan dan Merawat Kemerdekaan Indonesia" karena momentum suasana Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke 78.
Berbicara tentang peran dan kontribusi ulama Aceh terhadap kemerdekaan Bangsa Indonesia, menurut Mustafa Woyla, saat ini ada dua ulama besar Aceh yang patut dan layak mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Kedua ulama tersebut adalah Abuya Muda Waly Al-Khalidy dan Abu Hasan Krueng Kalee.
Namun menurut Mustafa Woyla, saat ini peran kedua ulama besar Aceh ini terhadap kemerdekaan Bangsa Indonesia belum maksimal diangkat ke permukaan publik, sehingga sudah sepatutnya berbagai elemen di Aceh mendiskusikan peran dan kontribusi keduanya agar mendapat pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Tgk Mustafa Woyla mengatakan, saat dirinya berdiskusi dengan beberapa tokoh nasional di Jakarta, disebutkan bahwa Abuya Muda Wali dan Abu Hasan Krueng Kalee sudah layak dianugerahi tokoh Pahlawan Nasional, dengan catatan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
"Dan sekarang Alhamdulillah sudah ada delapan orang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional dari Aceh, namun sayangnya hanya satu dari kalangan ulama, yakni Teungku Chik di Tiro yang bernama asli Muhammad Saman. Ada pun yang lain para raja dan pejuang serta dari militer. Maka kami nilai, peran memerdekakan dan merawat kedaulatan NKRI disinilah yang menjadi titik awal kontribusi kedua tokoh dari dayah/pesantren ini layak dianugerahi pahlawan nasional," ujar Mustafa Woyla.
Pada Kajian Aktual Tastafi terkait tema "Kontribusi Besar Ulama Aceh dalam Mewujudkan dan Merawat Kemerdekaan Indonesia" ini, pihak penyelenggara menghadirkan empat orang Narasumber, yaitu Ulama Muda Aceh, Abuya Habibi Muhibuddin Waly Al Khalidi (Cucu Abuya Muda Waly), Tgk M.Yusuf Al-Qardhawy, SHI, CPM, MH (Ketua DPP ISAD Periode 2008-2012 dan Periode 2012-2018), Letkol Mulyadi, S.T, M.I.Pol, M.Tr (Han), Kalakbintal Iskandar Muda yang mewakili Pangdam Iskandar Muda, serta Dr. H. Tgk. Mutiara Fahmi, LC, MA (Akademisi UIN Ar-Raniry dan Ulama).
Pemateri Pertama, Abuya Habibi Muhibuddin Waly Al Khalidi, dalam penyampaiannya fokus pada nasionalisme Abuya Muda Wali. Abuya Habibi mengatakan, mengutip dari beberapa sumber buku yang ditulis langsung oleh murid Abuya Muda Wali, seperti Abu Syihabuddin Syah, Abu Adnan Bakongan selaku sahabat karib Abuya Muda Wali yang juga termasuk muridnya, ada beberapa data yang menyebutkan bahwa Abuya Muda Wali disamping sebagai seorang ulama besar juga seorang nasionalis.
"Tentang nasionalis Abuya Muda Wali diakui oleh sejumlah tokoh nasional waktu itu, diantaranya Gubernur Sumatera Utara pertama, Sutan Mohammad Amin Nasution atau yang lebih dikenal SM Amin. Disebutnya bahwa Abuya Muda Wali punya jasa besar dalam kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam menciptakan keamanan kembali di Aceh pasca kemerdekaan," ujar Abuya Habibi mengutip dari beberapa referensi yang ada.
Pada masa DI TII, katanya, Gubernur Sumatera Utara SM Amin tidak hanya berterimakasih kepada Abuya Muda Wali tapi juga berterimakasih kepada Abu Hasan Krueng Kale, karena kedua ulama besar ini tidak masuk atau mendukung kelompok pemberontakan, yang saat itu sudah terpengaruh oleh beberapa aliran dari luar.
"Intinya, dari beberapa literasi yang ada, banyak sekali kontribusi besar Abuya Muda Wali terhadap Republik Indonesia. Walaupun nampak mendukung, namun hanya bersifat sebagai ulama yang dimintai pendapat, tidak lebih dari itu. Bahkan beliau pernah ditawarkan jadi Menteri Agama noleh Presiden Soekarno namun ditolaknya. Begitu juga saat disumbangkan sejumlah dana juga ditolak, hanya diterima genset kapasitas besar untuk penerangan di Dayah Labuhan Haji," beber cucu Abuya Muda Wali itu.
Kemudian Pemateri Kedua, Tgk M. Yusuf Al-Qardhawy, memaparkan bahwa peran Ulama Aceh terhadap perlawanan penjajahan Belanda telah diakui oleh dunia. Dikatakannya, kuatnya perlawanan Aceh karena Ulama dan Habaib yang mampu menggerakkan para santri dan pengikutnya untuk berjuang mempertahankan kedaulatan Aceh dari tangan penjajah Belanda.
Bahkan, Al-Qardhawy, Snouck Hurgronje, tokoh yang dikirim Belanda ke Aceh untuk mempelajari adat-istiadat, kebudayaan, dan ajaran Islam masyarakatnya Aceh pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika ingin menguasai Aceh maka bunuh lebih dulu para ulama dan Habaib. "Lemahnya perlawanan ulama Aceh terhadap penjajahan Belanda dimulai pasca meninggalnya Tgk Chik Ditiro akibat diracun pada Januari 1891," pungkasnya.
Pemateri Ketiga, Letkol Mulyadi, dari Pangdam Iskandar Muda mengakui peran ulama dan santri sangat besar terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari catatan sejarah. "Perlu juga diketahui bahwa kita punya UU yang didalamnya dituliskan 'atas berkat ramat dan anugerah Allah/Yang Maha Kuasa'. Ini menandakan bahwa ada campur tangan Allah dalam Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Campur tangan Allah di sini adalah melalui perjuangan orang-orang yang dicintainya yaitu para ulama dan pejuang," ungkapnya.
"NKRI kuat karena ada kesepakatan dan pijakan yang kuat dari para ulama di seluruh Nusantara.
Di Aceh diantara contoh pelaku sejarah santri dan ulama ada Teungku Chik di Tiro, Abu Chik Abuya Muda Wali Al Khalidi, Abu Hasan Krueng Kalee dan sejumlah ulama besar lainnya," pungkas Letkol Mulyadi.
Yang menarik adalah pembahasan dari Pemateri Kempat, Dr. H. Tgk. Mutiara Fahmi, LC, MA. Dia memaparkan bahwa kenapa ulama dan santri habis-habisan membela tanah air, karena hal ini punya landasan agama yang kuat. "Kenapa ulama itu harus membela negara? Prinsip kemerdekan, prinsip kenegaraan, ini adalah bagian dari ajaran kita Islam," ujarnya.
Terkait peran politik ulama apa saja? menurutnya ada banyak peran besar ulama Aceh dalam hal politik saat kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya Abu Hasan Krueng Kalee dan Abuya Muda Wali. Salah satunya ada maklumat ulama Aceh yang ditandatangani pada 15 Oktober 1945. Maklumat ini ditandatangani oleh Abu Hasan Krueng Kalee, Abu Ja'far Shiddiq Lamjabat, Abu Ahmad Hasballah Indrapuri, dan juga Abu Daud Beureueh.
"Maklumat tersebut seolah-olah fatwa dari ulama Aceh pada masa itu yang menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan/mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kelanjutan dari perjuangan Teungku Chik Ditiro. Jelas tertulis dalam maklumat itu, dan ini adalah perang Sabil yang harus dibantu," ujarnya.
"Dengan lahirnya maklumat tersebut, maka berdirilah di situ di belakang Presiden Soekarno, itu adalah sebagai ketaatan kepada pemimpin. Lalu apa yang terjadi setelah itu, maka lahirlah barisan Mujahidin di seluruh pesantren dan dayah-dayah di Aceh. Tanggal 17 November terjadi Musyawarah besar didepan Masjid Tiro yang disitu Abu Hasan Krueng Kalee hadir kemudian mengangkat Teungku Umar Tiro sebagai Panglima Barisan Mujahidin. Sementara di Banda Aceh di depan Masjid Baiturrahman, seminggu setelahnya atau tanggal 23 November lahir Barisan Hizbullah yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh," sambungnya.
Tugas para pejuang Barisan Mujahidin dan Hizbullah ini, lanjut Tgk. Mutiara Fahmi, bukan hanya menjaga Aceh dari masuknya kembali tentara Belanda, tapi juga mengirim tentara pejuang Aceh ini hingga ke Besitang, sampai ke Langkat, sampai ke Brandan yang dikenal dengan Perang Medan Area.
"Perang Medan Area ini namanya yang Medan, tapi yang berperang adalah orang Aceh. Karena lokasinya yang di Medan tapi yang datang itu untuk berperang orang Aceh. Ini adalah bukti nyata dari peran ulama Aceh dalam menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Turun langsung dalam militer," katanya.
"Adapun peran Abu Hasan Krueng Kalee dalam menjaga kemerdekaan ketika ada perang cumbok, sebelum pecah peperangan, Abu Krueng Kalee mendatangi Teungku Daud Cumbok. Sekalipun Nampak mendukung Soekarno namun tidak 'menjilat'. Abu Krueng Kalee juga mengkritik Soekarno dalam beberapa hal karena selalu berada di pihak netral atas hukum Islam," ungkapnya.
Kemudian pada situasi sulit lainnya, ketika Aceh merasa dikhianati Soekarno dan Teuku Daud Beureueh membuat Gerakan DI TII untuk kembali berpisah dari NKRI, ketika Teuku Beureueh mengajak Abu Krueng Kalee bergabung ke pergerakannya, beliau berpegang sesuai dengan pandangan fikih siasahnya, bukan kepentingan politik sesaat. "Abu Krueng Kalee menolak dengan kata yang popular sampai hari ini - ta peuek geulayang wate na angen," demikian pemaparan Dr. Mutiara Fahmi.
- Polda Aceh Diminta Ungkap Aktor Utama Penyalahgunaan BBM Subsidi yang Ditangkap di Peusangan
- Makam Syuhada Lapan, Jejak Sejarah Ulama Aceh Hadang Belanda
- Gelar Donor Darah, ASN Disdik Dayah Aceh Kumpulkan Darah 60 Kantong
- Milad ke-1, BSI Maslahat Perwakilan Aceh Bahagiakan Yatim Dhuafa di Wisata Impian Kuta Malaka