kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Optimalisasi Implementasi UUPA untuk Kebangkitan Aceh

Optimalisasi Implementasi UUPA untuk Kebangkitan Aceh

Jum`at, 18 Desember 2020 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

ACSTF menggelar forum diskusi review 15 tahun pelaksanaan UUPA, Kamis (17/12/2020) di Lambada Kupi. [Foto: Ist.]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Forum diskusi review 15 tahun pelaksanaan UUPA yang diselenggarakan oleh ACSTF mengkaji beberapa isu penting berkenaan dengan langkah optimalisasi implementasi UUPA ke depan, terutama berkenaan dengan exit strategy habisnya alokasi dana otsus yang hanya tinggal tujuh tahun lagi yaitu 2027.

"Review implementasi UUPA ini kita lakukan agar kita dapat mengetahui lebih jelas, kelemahan, kekuatan, peluang maupun tantangan yang kita hadapi selama 15 tahun, termasuk capaiannya. Kita mesti melihat secara utuh agar, langkah untuk mereorientasinya bisa lebih jelas," tutur Hemma Marlenny, program manager ACSTF.

Senada dengan Hemma, koordinator program Nina Noviana menegaskan bahwa ACSTF dulu terlibat aktif dalam merumuskan draf UUPA versi masyarakat sipil melalui Jaringan Demokrasi Aceh (JDA), maka kita berupaya terus mengawasi dan memberikan kajian-kajian agar para pemangku kebijakan pembangunan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada.

Bagi ACSTF, UUPA dapat menjadi kerangka perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan, bukan hanya sebatas berakhirnya perang, namun tata kelola pemerintahan yang diatur dalam UUPA dapat dijadikan modal pembangunan Aceh. Maka menjadi kewajiban bagi seluruh aparatur pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk mengetahui, memahami dan menjalan UUPA.

“Kita lakukan diskusi series," kata Otto Syamsuddin dalam pembukaan diseminasi hasil review UUPA di Lambada Kupi, Kamis (17/12/2020).

Menurut Otto Syamsuddin, diskusi series menghadirkan narasumber mewakili akademisi, NGO, GAM, politisi dan bahkan pemerintah Aceh, banyak informasi yang disampaikan, ternyata banyak hal yang kita lakukan dalam 15 tahun ini, meskipun regulasi turunan yang sudah dirumuskan masih lemah dalam substansi dari kepentingan pembangunan Aceh secara menyeluruh dan jangka panjang.

"Sebenarnya Aceh memiliki fondasi negara saat kesultanan, namun paska itu mengalami keruntuhan karena perang yang panjang sehingga kita luput untuk membangun diskursus bernegara, awalnya kita memiliki pelabuhan dan perdagangan internasional, namun hilang satu persatu dan terakhir keberadaan free port Sabang," ujar Juanda Djamal dalam pemaparan awalnya.

"Namun Aceh memiliki asset politik dengan perjuangan yang dipimpin oleh GAM dan diakhir 90-an juga muncul gerakan sipil, setelah damai perlu dilakukan transformasi kapasitas kepemimpinan agar kita mampu mengelola sumber daya yang kita miliki,” pungkas Juanda.

15 tahun damai, kita masih terus berproses untuk menemukan kerangka pergerakan politik yang lebih tepat, mesti menemukan sebuah kepentingan yang sama “Aceh National Interest”, ujar Juanda.

Tantangan besar, sambung Juanda, adalah menjadikan kapital yang kita bangun dalam 15 tahun ini sebagai kapital “kebangkitan Aceh”, meskipun dana otsus akan berakhir 7 tahun lagi, namun kesempatan yang masih tersisa ini wajib kita manfaatkan.

Hasil review ACSTF tersebut disepakati akan dibawa dalam forum yang lebih besar. "Forum yang bisa merumuskan agenda bersama dan juga langkah diplomasi Aceh agar damai yang tercipta hari ini dapat kita manfaatkan untuk membangun Aceh kearah yang makmur dan mandiri,” tutup Juanda.

Hadir dalam forum tersebut, Teuku Kamaruzzaman, H.M. Dahlan Sulaiman (APINDO), Kamaruddin Andalah, Tgk Amni (BRA), Yarmen dinamika, Afridal Darmi (KKR), Saiful mahdi, Syarifah rahmatillah, Yudi F. (Kabag. Humas Bawaslu), Fajran zain, Tiara (DP3A), Raihal Fajri, Dr Tasmiati Emsa, Sudirman, Norma Manalu, Teuku Murdani, dan peserta lainnya. (rel)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda