Beranda / Berita / Aceh / Nasib PPPK Diujung Tanduk, Persoalan Pemerintah Tak Boleh Dibebankan ke Masyarakat

Nasib PPPK Diujung Tanduk, Persoalan Pemerintah Tak Boleh Dibebankan ke Masyarakat

Rabu, 05 Januari 2022 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen, Prof Dr H Apridar SE MSi. [Foto: IST] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh  - Dikabarkan, mulai tahun 2022 Pemerintah Aceh tidak akan lagi memperpanjang SK Tenaga Kontrak atau PPPK yang selama ini bekerja di instansi Pemerintahan Aceh. 

Hal ini senada dengan bunyi Pasal 99 Ayat (1) dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Disebutkan, pada tahun 2023 PPPK tidak bisa lagi bekerja di lingkungan Pemerintah Aceh sebagai Tenaga kontrak.

Keputusan tersebut diambil karena Pemerintah Aceh tidak mampu lagi menampung ribuan orang yang selama ini dikontrak untuk membantu kerja-kerja lembaga pemerintah.

Pasca tersiar kabar para Tenaga Kontrak (PPPK) di instansi Pemerintah Aceh tidak akan lagi diperpanjang pada tahun 2022 dikarenakan anggaran yang tidak mencukupi, lantas membuat sejumlah akademisi dan pengamat ikut berbicara.

Salah satunya datang dari Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI) Bireuen. Rektor UNIKI Bireuen, Prof Dr H Apridar SE MSi mengatakan, dari sisi efisiensi keputusan berat memang harus dilakukan Pemerintah Aceh.

Akan tetapi, lanjut dia, dari segi kemanusiaan dan sisi tenaga kerja, manuver yang diambil Pemerintah Aceh yang tidak memperpanjang kontrak PPPK dengan dalih anggaran yang tidak mencukupi akan menimbulkan banyak persoalan baru ke depan.

“Tindakan yang diambil ini akan memicu persoalan baru. Ke depan akan ada banyak pengangguran. Dengan adanya pengangguran tentu akan ada persoalan baru,” ungkap Prof Apridar kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (5/1/2022).

Menurutnya, Pemerintah Aceh sebaiknya memikirkan ulang atas tindakan yang akan diambil terkait dengan nasib PPPK pada tahun 2023. Pemerintah Aceh, kata dia, harus mampu mencari sumber pembiayaan lain meski dalam kondisi minimnya anggaran.

“Pemerintah harusnya lebih melakukan tindakan efisiensi bidang lainnya, jangan hanya dikorbankan kepada masyarakat secara umum,” kata dia.

Prof Apridar melanjutkan, sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan Pemerintah Aceh dalam memberdayakan PPPK ini. Namun, jika kebijakan yang diambil adalah pemutusan kontrak, hal tersebut terkesan bahwa persoalan pemerintahan malah dibebankan ke masyarakat.

Di sisi lain, Rektor UNIKI Bireuen ini menegaskan, sumber lain untuk menggaji PPPK sangat banyak dan luas di Aceh. Namun, eksplorasi yang dilakukan Pemerintah Aceh seperti Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMP) kelihatan seperti tidak terurus dengan baik.

Padahal, jelasnya, dengan BUMP yang terkoordinir dengan baik serta kelancaran produktivitas, membuat pemasukan daerah dirasa cukup untuk membiayai para PPPK di tengah krisis anggaran.

“Banyak sekali sumber-sumber lain untuk membiayai mereka (PPPK-Red). Saya pikir, bisa kita lakukan dengan membuka berbagai jenis usaha baru. Tapi yang kita lihat sekarang, pemerintah seperti gagal. Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMP) banyak yang sudah mulai bangkrut, padahal pengaruhnya sangat signifikan di saat genting seperti ini,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda