Menghapus Bias Gender dalam Pemilihan Kepala Daerah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Empat kandidat perempuan dalam Pilkada 2024 di Aceh. Foto: BBC
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, kandidat perempuan di Aceh masih berupaya melawan stereotip negatif dan bias gender yang sering kali muncul dalam penilaian terhadap kemampuan kepemimpinan perempuan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Ar- Raniry, Rizkika Lhena Darwin, mengatakan keterwakilan perempuan di Aceh mengalami penurunan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah 2024. Fenomena ini bertolak belakang dengan tren nasional yang menunjukkan peningkatan jumlah calon kepala daerah perempuan.
"Pada Pilkada 2017, kita memiliki lima calon kepala daerah perempuan. Namun di Pilkada 2024, jumlahnya menurun menjadi hanya empat calon di tiga kabupaten/kota, yaitu Simeulue, Langsa, dan Banda Aceh," ujar Rizkika, saat diskusi bertajuk ‘Merespon Polemik Kerawanan di Pilkada Aceh’ di Banda Aceh, Sabtu, 26 November 2024.
Mereka adalah Afridawati, calon bupati Simeulue, yang didampingi oleh wakilnya, Amin Haris; Nurhayati, calon wakil bupati Simeulue mendampingi Erli Hasim; Meutia, calon wakil wali kota Langsa mendampingi Falun Hasan; dan Illiza Sa’aduddin Djamal, yang mencalonkan diri sebagai wali kota Banda Aceh dengan Afdhal Khalilullah sebagai wakilnya.
Munculnya kandidat perempuan dalam pemilihan kepala daerah, memunculkan dinamika politik yang memprihatinkan. Apalagi Aceh yang sangat kental dengan syariat Islam. Ini terlihat dari sejumlah komentar dan postingan sejumlah di media sosial.
Menurut Rizkika, narasi demikian tentu sangat merugikan kandidat perempuan. Ini harus mendapat perhatian serius dan memperhatikan kerawanan politik berbasis gender dalam Pilkada. Karena itu, ia mendorong dibentuknya desk pengaduan khusus untuk menangani kampanye negatif yang menyasar calon pemimpin perempuan.
"Kita membutuhkan mekanisme pengaduan berbasis gender. Kampanye negatif terhadap calon perempuan harus ditindaklanjuti secara serius, ini bukan hal sepele," ucapnya.
Di sisi lain, akademisi itu menilai, rendahnya keterwakilan perempuan dalam kontestasi Pilkada bisa berdampak pada kualitas demokrasi. "Ketika hak warga negara untuk maju dalam kontestasi kepala daerah tidak terlindungi, hal ini akan melemahkan sistem demokrasi kita," tambahnya.
Rizkika menekankan perlunya penguatan pendidikan politik bagi perempuan dan sosialisasi pentingnya kepemimpinan perempuan di ranah publik. Ia berharap para pemangku kepentingan dapat memberikan perhatian lebih serius terhadap isu keterwakilan perempuan dalam politik.
"Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan sekadar pemenuhan kuota. Ini adalah upaya membangun demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan gender," sebutnya.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, ikut menyoroti narasi anti- pemimpin perempuan di Aceh. Menurutnya, seruan itu bertentangan dengan sejarah, karena kepemimpinan perempuan di Aceh suatu keniscayaan.
“Bahkan kepemimpin perempuan di Aceh dikenal sampai ke tingkat global,” kata Riswati.
Deretan pemimpin perempuan yang memimpin Aceh, seperti Sultanah Safiatuddin Tajul Alam dan Ratu Nurul Alam. Mereka memimpin dengan adil dan membawa kemakmuran. Kemudian Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati yang memimpin peperangan, serta tokoh lainnya.
"Jangan sampai karna kepentingan politik praktis, mengaburkan sejarah penting Aceh,” ujar Riswati.
Menurut Riswati, pentingnya dukungan keluarga, masyarakat dan multipihak, terutama kelompok perempuan untuk memperkuat kepemimpinan perempuan. Empati dan dukungan itu menciptakan solidaritas yang kuat dan menjadi kunci bagi perempuan agar berani mengambil peran yang lebih besar di masyarakat.
“Pada saat yang sama kita juga harus menciptakan ekosistem yang lebih inklusif dan mendukung dalam peningkatan kepemimpinan perempuan. Pengakuan dan apresiasi atas keberhasilan dan kontribusi perempuan juga penting dilakukan,” kata dia.
Riswati menilai banyak manfaat yang dirasakan dari kontribusi kepemimpinan perempuan Aceh. Baik tingkat komunitas hingga nasional. Baik di sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, politik dan lainnya.
“Capaian dan kontribusi penting perempuan selama ini mendukung proses penguatan demokrasi dan pembangunan Aceh,” tuturnya.
Selanjutnya » Rizki Amanda, Sekretaris Masyarakat Anti...