Menghapus Bias Gender dalam Pemilihan Kepala Daerah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Empat kandidat perempuan dalam Pilkada 2024 di Aceh. Foto: BBC
Rizki Amanda, Sekretaris Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Perwakilan Aceh, mengatakan kepemimpinan perempuan selalu menjadi isu yang segar bagi lawan-lawan politik apabila ada kandidat perempuan maju pada pilkada. Apalagi hal ini menjadi sangat sensitif ketika di kaitkan denga isu syariat kita.
“Tapi yang ingin saya sampaikan adalah hari ini, saya rasa masyarakat sudah harus cerdas. Siapun kita punya hak politik, selama dia punya gagasan dan punya kapasitas di layak menjadi pemimpin,” ujar Rizki.
Menurut Rizki, perlu diluruskan tentang cara masyarakat menilai sosok pemimpin. Apakah dari segi visi misi untuk membangun suatu daerah atau kandidat yang paling banyak memberikan uang. “Semua ada di tangan kita,” ucapnya.
Ketua Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Banda Aceh, Indra Milwady, mengaku pernah mengingatkan pasangan calon dan tim pendukung agar tidak berkampanye dengan narasi negatif dalam sosialisasi. Seperti kampanye hitam dan isu SARA.
“Karena Pilkada kompetisi yang fair. Kampanye itu tidak boleh menyinggung isu SARA, jika soal label pemimpin perempuan itu haram maka kita kembali lagi ke regulasi,” ucapnya.
Soal calon kandidat dalam Pilkada, kata Indra, semua diatur dalam perundang-undangan. Baik umur, pendidikan, dan khusus Aceh harus beragama Islam.
“Jadi sepanjang yang tidak ada dalam aturan berarti tidak perlu dikatakan,” ujarnya.
Sebelumnya, dai kondang nasional, Ustaz Abdul Somad alias UAS, juga pernah menyampaikan pandangannya tentang hukum perempuan menjadi pemimpin. Hal ini disampaikan dalam sebuah ceramah yang yang berlangsung pada Tablig Akbar di Taman Ratu Safiatuddin, Kota Banda Aceh, Ahad, 17 November lalu.
Dalam ceramahnya, UAS berpandangan terkait posisi perempuan sebagai pemimpin, dengan merujuk pada pandangan para ulama. Menurutnya, pemimpin yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan absolut, seperti khalifah atau amirul mukminin, yang berwenang memimpin seluruh umat Islam.
"Memang betul, tidak boleh pemimpin itu perempuan, haram hukumannya jika pemimpin tersebut perempuan. Yang dimaksud dengan pemimpin ini adalah pemimpin seluruh dunia, yang disebut dengan khalifah atau amirul mukminin," sebut UAS.
Dai asal Pekanbaru itu menegaskan bahwa hal itu sudah disepakati oleh seluruh ulama. "Pemimpin yang absolut, tak terbantahkan, namanya khalifah, amirul mukminin, itu tidak boleh perempuan," kata UAS.
Namun, UAS memberi penjelasan bahwa hukum ini tidak berlaku untuk pemimpin dengan kekuasaan terbatas, seperti kepala dinas, kepala kantor, kepala daerah, atau posisi-posisi lain yang tidak memiliki kekuasaan absolut. Ia mencontohkan jabatan seperti wali kota, gubernur, kapolres, atau kapolda yang bisa dipilih dan digantikan jika diperlukan.
"Adapun pemimpin yang kekuasaannya terbatas, seperti kepala dinas, kepala kantor, kepala kota, kapolres, kapolda, bahkan wali kota, menurut ulama, boleh dijabat oleh perempuan. Karena kekuasaan tersebut tidak absolut dan bisa dijatuhkan atau dipecat," ujar UAS.
UAS menambahkan bahwa meskipun dalam posisi-posisi tersebut, seorang perempuan masih bisa memimpin. Namun jabatan khalifah dengan kewenangan yang mutlak tetap dihindari untuk perempuan.
"Wali kota itu bukan kekuasaan yang absolut, kalau melanggar bisa dijatuhkan. Karena itulah ulama bersepakat perempuan boleh menjadi pemimpin setingkat wali kota, gubernur dan sebagainya,” kata UAS. [nr]