kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / MaTA Kritik Soal SP3 Kasus Dugaan Korupsi KIP Pidie Jaya

MaTA Kritik Soal SP3 Kasus Dugaan Korupsi KIP Pidie Jaya

Rabu, 06 Januari 2021 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni
Koordinator MaTA, Alfian. [IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyoroti penghentian penyidikan atau SP3 dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pidie Jaya terkait kasus dugaan korupsi dana hibah Pilkada Pidie Jaya tahun 2018 di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Pidie Jaya.

Koordinator MaTA, Alfian mengatakan, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 4 bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.

"Jadi kalau kasus korupsi di-SP3 dengan dalih keuangan negara sudah dikembalikan, kebijakan tersebut menjadi pesan bagi para korupator bahwa silahkan korupsi, kalau ketahuan cukup dengan pengembalian uangnya saja. Sementara hukum jelas mengatur pengembalian keuangan negara tidak menghapus sifat pidannya," jelas Alfian kepada Dialeksis.com, Rabu (6/1/2021).

"Pertanyaannya kemudian, kenapa terjadi perlindungan terhadap koruptor, motif ini yang perlu digali," tambahnya.

Alfian berujar, dalam catatan MaTA terhadap monitoring peradilan, Kejaksaan kerap membangun tren dalam penanganan kasus korupsi hanya penyelamatan keuangan negara saja, tetapi penegakan hukum terhadap pelaku sering diabaikan dan ini menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi saat ini.

"Kondisi ini melahirkan rasa keadilan menjadi barang yang mahal," ungkap Alfian.

Koordinator MaTA itu berujar, di Aceh ada kerugian keuangan negara yang nilainya Rp 100 juta ditindak, jadi tidak relevan sama sekali kalau yang menjadi landasannya adalah nilai dugaan yang dikorupsi di KIP Pidie Jaya terbilang kecil.

"Bagi kelembagaan negara dalam hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan tidak di atur secara khusus dalam penanganan kasus korupsi dengan penentuan nilai, kecuali KPK. Dalam penanganan kasus korupsi, Kejaksaan dan Kepolisian, negara mengalokasikan anggaran dalam per kasus sebesar Rp 208 juta dari APBN," jelas Alfian.

"Memang kalau kita nilai dalam kasus ini kerugiannya lebih Rp 104 juta, akan tetapi pelakunya pejabat negara bukan orang biasa. Dan seharusnya hukum hadir menindak untuk rasa keadilan bagi masyarakat," tambahnya.

Koordinator MaTA itu berujar, dampak dari korupsi telah menjauhkan rakyat dari kesejahteraan, terjadi kemiskinan dan jauh dari pembangunan yang berkualitas.

"Kita selalu mendorong dan menyampaikan pesan kepada APH (Aparat Penegak Hukum) sejak dulu, dalam penindakan korupsi tidak ada toleransi terhadap pelaku kejahatan luar biasa, sehingga tatanan hukum yang telah ada dapat dijalankan secara utuh dan sempurna," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda