Beranda / Berita / Aceh / Mantan Ketua Komisi II DPRA Nurzahri Buka Suara Soal Kronologis Polemik Bendera

Mantan Ketua Komisi II DPRA Nurzahri Buka Suara Soal Kronologis Polemik Bendera

Minggu, 02 Januari 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Mantan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Nurzahri. [Foto: IST] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Nurzahri ikut angkat bicara soal polemik Bendera Bulan Bintang yang tengah ramai diperbincangkan kembali oleh publik di Aceh. Bendera itu sudah disahkan menjadi bendera Aceh lewat Qanun Nomor 3 Tahun 2013.

Menurut Nurzahri, polemik yang terjadi saat ini disebabkan akibat berlarut-larut status Qanun bendera. Jika Qanun bendera ada kejelasan dari versi pemerintah pusat, kemungkinan tidak akan terjadi polemik.

Pasalnya, terdapat dua padangan berbeda antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Menurut Pemerintah Aceh dalam hal ini Eksekutif dan Legislatif, qanun bendera itu adalah produk hukum yang sah dan sudah tercatat di lembar negara.

Sedangkan versi pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, Qanun itu sudah dibatalkan karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

"Namun, proses pembatalannya sampai hari ini juga tidak diketahui oleh perangkat pemerintahan dan publik karena surat pembatalannya nggak pernah ada," ungkap Nurzahri kepada Dialeksis.com, Dialeksis.com, Minggu (2/1/2021).

Ia menjelaskan, apabila sebuah produk hukum sudah masuk dalam lembar negara atau daerah, jika itu dinyatakan tidak berlaku harus ada keputusan untuk mencabut. Selama ini Qanun tersebut belum dicabut masih tetap berlaku.

Untuk diketahui, polemik masalah bendera kembali mencuat setelah polisi memanggil Ketua Muallimin Aceh Zulkarnaini Hamzah alias Teungku Ni. Teungku Ni dipanggil polisi terkait pengibaran bendera bintang bulan saat milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Akan tetapi, kini Polda Aceh sudah menghentikan penyelidikan kasus dugaan makar yang dilakukan oleh mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu. Penghentian penyelidikan itu setelah polisi menerima surat permohonan dari Komite Peralihan Aceh (KPA) atau organisasi yang mewadahi mantan kombatan GAM yang dilayangkan oleh jubir KPA, Azhari Cage.

"Seharusnya yang di crosscheck oleh kepolisian adalah lembar daerahnya, jika masih ada berarti produk hukum itu masih ada. Jikapun tidak ada lagi, pihak kepolisian tidak boleh masuk karena terjadi kekosongan hukum, tidak ada pengaturan suatu masalah," terangnya.

Misal, lanjutnya, jika pun benar qanun bendera sudah dicabut dari lembar daerah maka status bendera itu menjadi kosong tidak ada pengaturan hukum. Maka tidak ada pasal yang bisa disangkakan terhadap orang yang menaikkan bendera apabila bendera itu tidak lagi tercatat di lembar daerah.

Karena bendera yang dimaksud bukan bendera untuk menggantikan merah putih, jika ada niat menggantikan bendera merah putih harus dianggap makar karena melawan simbol negara.

"Kalau ini kan enggak, ini hanya bentuk bendera yang menjadi pendampingnya merah putih di Aceh, sama dengan bendera yang ada di Provinsi lain, karena kan daerah-daerah lain punya bendera juga," jelasnya lagi.

Nurzahri menegaskan pihak kepolisian telah melakukan kesalahan fatal dalam hal ini, konteks penyebutan makar yang dimaksud oleh Polda itu seolah-olah menuduh Tgk Ni Cs ini sedang melakukan perlawanan terhadap bendera merah putih, padahal nyatanya tidak.

Nurzahri menceritakan kebijakan dari Kemendagri di bawah Tjahjo Kumolo yang menyedot perhatian publik adalah pro-kontra mengenai peraturan daerah (Perda) yang bermasalah sehingga perlu untuk dibatalkan.

Sebelum keluar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016, terkait pembatalan kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur dalam melakukan pembatalan peraturan daerah (perda), Kemendagri telah membatalkan 3.032 perda dan perkada. Mendagri membatalkan 1.765 perda/perkada. Gubernur selaku wakil Pemerintah pusat di daerah, juga membatalkan 1.267 perda/perkada.

Setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi, Kemendagri memfokuskan pembinaan produk hukum daerah pada proses preventif sejak 2015, antara lain register 255 perda provinsi pada 2015 dan 410 perda pada 2016, selanjutnya register 223 perda provinsi sampai September 2017.

"Kita cek surat pembatalan qanun bendera itu juga enggak pernah masuk suratnya, di Sekwan DPRA juga nggak masuk. Lalu kita kirim utusan dari DPRA ke Kemendagri untuk menelusuri surat itu, dan mereka nggak punya," ungkapnya.

Hal itu terkesan aneh, kemendagri yang berwewenang terhadap produk hukum tetapi tidak punya salinan asli. Disaat pengecekan di laman kemendagri.co.id yang memuat semua produk hukum dari UU 1945 hingga SK Menteri, juga tidak ada SK pembatalan qanun bendera.

"Waktu kami tanya ke Pak Tjahjo Kumolo dijawab dia tidak di Kemendagri lagi, tanya ke Pak Tito dijawab itu masanya pak Tjahjo. Hingga hari ini tidak kepastian dimana bukti fisik SK itu ada," terangnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda