Mahasiswa PMM USK Kagum dengan Kerukunan Umat Beragama di Aceh
Font: Ukuran: - +
Mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Kupula Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 4 Inbound Universitas Syiah Kuala berfoto di depan Vihara Dharma Bakti, Sabtu (24/2/2023). [Foto: dok. PMM USK]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Kupula Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) 4 Inbound Universitas Syiah Kuala mengikuti kegiatan Modul Nusantara Kebhinekaan. Dalam kegiatan perdana tersebut mengusung tema “Harmoni Multikultural Dalam Bingkai Syariat Islam : Wujud Kerukunan Beragama di Aceh”.
Dosen Modul Nusantara, Ir. Febi Mutia, S.T., M.Sc, mengatakan PMM merupakan program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, dimana mahasiswa memperoleh kesempatan belajar selama 1 semester di luar kampusnya.
Febi Mutia menambahkan keberagaman anggota kelompok Kupula yang berasal dari seluruh Indonesia itu semakin menambah semangat mereka untuk mengetahui lebih dekat ikon keberagamaan di Kota Banda Aceh.
“Peserta PMM ini mengunjungi rumah ibadah dari berbagai agama, seperti Mesjid Raya Baiturrahman, Gereja Katolik Hati Kudus, Gereja Protestan GPIB Banda Aceh dan Vihara Dharma Bakti,” kata Febi Mutia, Sabtu (24/2/2024).
Ia menjelaskan saat mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman yang lokasinya terletak di tengah kota dengan arsitekturnya yang memukau, langsung menghipnotis para mahasiswa. Seorang anggota Kelompok Kupula, Ananda Putri Nabila, biasa disapa Nanda, tak kuasa menahan air mata saat melihat Mesjid Raya Baiturrahman secara langsung untuk pertama kalinya.
“Rasanya sangat terharu,” ungkap mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang.
Selama di Masjid Raya Baiturrahman, mereka didampingi pengurus Masjid Raya, Selamat Ariga atau akrab disapa Bang Iga. Ia menceritakan sejarah berdirinya Masjid Raya yaitu pada tahun 1292 oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah dan seterusnya pembangunan masjid dilanjutkan oleh sultan Aceh lainnya termasuk Sultan Iskandar Muda.
Bang Iga juga menjelaskan dengan sangat komprehensif tentang keberadaan Masjid Raya Baiturrahman dari masa ke masa dan telah menjadi simbol relijius, nasionalisme dan pembangunan bagi masyarakat Aceh.
Selain itu para mahasiswa juga diajak berkeliling sekitar Masjid Raya Baiturrahman, termasuk ke monumen Kohler dan Menara Modal. Walaupun dalam suasana terik, anggota kelompok Kupula antusias menyimak dan bertanya kepada pemandu terutama momen Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat menyelamatkan ribuan orang saat bencana tsunami Aceh tahun 2004.
Kunjungan berikutnya mengarah ke Gereja Katolik Hati Kudus dan Gereja Protestan GPIB Banda Aceh. Di kedua tempat tersebut, kelompok Kupula disambut masing-masing oleh Pengurus Dewan Paroki Harian Gereja Katolik Hati Kudus Yesus, Banda Aceh, Baron Ferryson, S.Ag., M.Th dan KMJ GPIB Jemaat Banda Aceh Pdt. Samuel Soebroto, M.Th.
Sharing utama yang diperoleh adalah bagaimana kehidupan umat agama Katolik dan Kristen Protestan di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh yang mayoritasnya beragama Islam.
"Awalnya keluarga saya mengkhawatirkan saat saya mendapat penugasan ke daerah Aceh, namun asumsi itu terbantahkan,” ujar Baron.
Ia mengaku sikap toleransi dan kerukunan umat beragama berjalan dengan sangat baik di Banda Aceh bahkan kolaborasi dengan pemerintah pun berlangsung intensif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Sedangkan Pdt Samuel juga menerangkan, keberadaan gereja GPIB di tengah Gampong Mulia, Kecamatan kuta Alam yang juga merupakan gampong toleransi di Banda Aceh itu semakin mempertegas bahwa hubungan anggota masyarakat yang multikultural tetap terjalin dengan harmonis, saling menjaga toleransi dan menghormati semua kalangan.
Kunjungan tersebut berakhir di Vihara Dharma Bakti yang terletak di Jalan Panglima Polem, Gampong Peunayong, Banda Aceh.
Dari pelaksanaan kegiatan kebhinekaan ini, kelompok Kupula mendapatkan informasi dan melihat secara langsung praktik baik dari kehidupan multikultural di Banda Aceh yang terwujud dalam bentuk kerukunan umat beragama.
“Melalui kegiatan kunjungan rumah ibadah ini, saya mendapati bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika telah terimplementasi dalam masyarakat Aceh. Saya sebagai mahasiswa juga merasa terpanggil untuk terus merawat kerukunan dan keharmonisan dalam keberagaman. Salah satu wujud nyatanya adalah melalui Pertukaran Mahasiswa Merdeka,” ungkap Khadila Hamid alias Dila, anggota Kelompok Kupula asal Universitas Negeri Makassar.
Sementara itu, Dosen Modul Nusantara Ir. Febi Mutia, S.T., M.Sc menjelaskan bahwa kehidupan kerukunan umat beragama di Banda Aceh menjadi unik dan khas, dimana Kota Banda Aceh seperti juga daerah lainnya di Aceh telah menerapkan hukum syariat Islam.
Ia mengharapkan pelaksanaan Modul Nusantara berupa kunjungan rumah ibadah, temu tokoh dan diskusi itu akan menjadikan mahasiswa semakin kaya pengetahuan dan pengalaman terkait nilai-nilai toleransi, kerukunan antar umat beragama, dan penerapan moderasi beragama di Kota Banda Aceh.
“Pembelajaran langsung ini tentu memberikan kesan dan pengalaman tersendiri bagi para mahasiswa. Hal ini sesuai dengan tagline Pertukaran Mahasiswa Merdeka, yaitu: “Bertukar sementara, bermakna selamanya”. Semoga para mahasiswa ini mampu mengimplementasikannya,” pungkas Febi Mutia. [*]