kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Korban Pelecehan Seksual Harus Didampingi, P2TP2A Harus Segera Dimaksimalkan

Korban Pelecehan Seksual Harus Didampingi, P2TP2A Harus Segera Dimaksimalkan

Senin, 01 November 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

KontraS Aceh, Azharul Husna. [readers.ID/Adam]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingkat kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Aceh sudah merajalela. Banyak sekali kasus yang menjadi sorotan, salah satunya adalah ayah yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandungnya.

Tentu terhadap korban perlunya pendampingan khusus atau dilakukannya rehabilitasi terhadap korban.

KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan di Aceh kita Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

“Disitu ada pendamping korban dan ada juga Psikolog, jadi layanan-layanan untuk korban dan kekerasan seksual itu didampingi oleh para Legal, jadi para Legal ini yang selalu mendampingi korban, juga ada Psikolognya, untuk memastikan kondisi si Korban itu stabil,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Senin (1/11/2021).

Tapi memang, Kata Husna, untuk di Aceh hal-hal seperti ini memang belum maksimal. “Kualitas daripada pendamping ini juga kita gak bisa bilang apa sudah memenuhi syarat, kita juga tidak bisa menutup terkadang memang ada orang-orang yang ‘Bias’,” sebutnya.

Tapi kalau bicara Ideal, Kata Husna, kita punya juga itu namanya P2TP2A.

“Hanya saja belum maksimal,” tambahnya.

Husna juga mengatakan, di Aceh juga punya seperti rumah perlindungan/Aman atau rumah singgah. “Di Aceh juga ada rumah singgah, walaupun sama seperti yang saya katakan sebelumnya, korban pelecehan ini ditaruk disitu juga belum tentu maksimal juga, karena masih banyak kekurangannya,” kata Husna.

Kemudian, Kata Husna, apa mungkin kita terapkan seperti yang ada diluar negeri (Penerapan perlindungan terhadap Korban pelecehan seksual agar lebih aman)?, kalau diluar negeri ada panti yang dibawah gereja atau kalau di Aceh itu Dayah atau Pesantren.

“Mungkin saja, kalau kita sudah siap dan perspektif pemuka Agama kita, disini harus dibawahi ya, bahwa didalam Pesantren/Dayah juga ada Oknum atau kekerasan disana. Jadi tempat pendidikan Agama juga ada kekerasan, jadi sehingga Double jadinya, nah ini bahayanya, korban dibawa kesana malah jadi double,” tukas Husna.

Oleh karena itu, Husna mengatakan, harus ada dukungan Anggaran, dalam hal ini komitmen Pemerintah itu berdasarkan alokasi Anggarannya dan Programnya seperti apa.

“Dan tidak hanya alokasi anggaran dan program, namun SDM nya juga harus siap. Bahkan di P2TP2A itu Psikolognya hanya beberapa orang saja, apakah ada Psikolog Anak, apakah Psikolognya ada dikasih Training tidak? Apa jangan-jangan tidak ada,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Husna menjelaskan, jika ada rumah yang bisa direnovasi, alangkah baiknya rumah tersebut di renovasi agar lebih bagus dan lebih layak. “Alih-alih kita membangun baru, ini P2TP2A sudah, tinggal disempurnakan saja agar menjadi lebih baik,” tukasnya lagi.

Husna menyampaikan, di Aceh itu kita punya modal sosial yang besar. “Di Aceh itu ada sistem, misalkan ada anak teman saya yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri, jika berbuat salah maka itu akan saya tegur, ada sistem seperti di masyarakat kita. Tentu dalam hal ini, bahwa korban itu tidak bisa pulih serta-merta (Trauma), tapi hal-hal seperti itu bisa di Managed,” jelasnya.

Tapi, Kata Husna, pengelolaan (Managed Trauma), dia (Korban) tidak hanya perlu datang ke Psikolog sekian lama, tapi dalam hal ini masyarakat juga perlu ambil peran besar juga untuk memastikan bahwa dia (Korban) tidak menjadi korban atau dikorbankan lagi.

“Bagaimana memastikannya? Kita bisa pakai semua hal yang ada di masyarakat kita. Misalnya, setiap sholat Jumat misalnya dikhutbah itu, Tengku atau Ustad mendakwahkan atau mengkampanyekan kekerasan seksual, perlindungan terhadap anak, atau azab neraka bagi pelaku kekerasan ini. Jadi optimalisasi seperti itu yang masih belum maksimal di Aceh,” jelasnya.

Dulu saat masa konflik, Kata Husna, perempuan-perempuan yang diperkosa itu dengan gamblang mengatakan bahwa ‘Saya diperkosa’. “Harusnya yang malu itu adalah pelaku bukan korban!. Meskipun saat ini kita tahu bagaimana caranya, hal-hal seperti itu justru berbalik, korban daripada pelecehan ini merasa malu dan merasa itu adalah Aib, kondisi sebenarnya bisa dirubah kembali dan sangat mungkin kembali seperti semula,” tuturnya.

Husna menyampaikan, karena itu, pemerintah harus bisa memaksimal P2TP2A agar bisa mendapatkan pelayanan yang lebih baik terhadap korban pelecehan ini.

“Harus ada komitmen yang serius dalam hal ini, yang penting itu dipastikan Anggarannya. Dengan anggaran itu, kapasitas orang juga bisa ditingkatkan, bahkan kita juga bisa buat sosialisasi, semua hal bisa dilakukan asal ada komitmen yang kuat,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda