Koordinator MaTA: Adanya SiLPA karena Pola Kepemimpinan Aceh yang Salah
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Koordinator MaTa, Alfian. [Foto: Dok. Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingginya SiLPA tahun 2020 mencapai Rp3.9 Trilliun. Besarnya SiLPA membuat masyarakat mengatakan bahwa pemerintah Aceh seperti malas membangun negeri Serambi Mekkah.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mengatakan kepada Dialeksis.com, Selasa (22/06/2021), kenapa APBA itu tidak terealisasi dengan maksimal sehingga adanya SiLPA. Pertama, kita tahu bahwa proses perencanaan anggaran itu ada yang namanya perencanaan.
“Kalau di Pemerintah Aceh jika melihat SiLPA itu, sudah menjadi tren setiap tahunnya. Jika melihat di tahun 2019 dan 2020, SiLPA itu menjadi sangat tinggi,” katanya.
Sementara itu, SiLPA tahun 2019 itu mencapai angka Rp 2.8 Trilliun dan di tahun 2020 mencapai Rp 3.9 Trilliun.
“Jika berbicara di proses perencanaan, contoh ketika terjadi pembangunan jalan, maka harus ada yang namanya masterplan dari pembangunan jalan tersebut. Nah, disini diketahui masterplannya tidak dibuat duluan, namun langsung dibuat alokasi anggarannya,” tukasnya.
Lanjut Alfian, Ketika proses tender lama, proses eksekusinya terlambat, setelah tender baru dibuat gambar perencanaan dan itu menjadi salah satu faktor ada dana SiLPA.
“Kedua, Sinkronisasi, yang kita ketahui saat ini Gubernur Aceh kita saat ini bisa dikatakan otoritas tunggal. Artinya segala sesuatu hal yang dilakukan oleh kedinasan yang ada di Aceh, maka gubernur pasti tahu,” ucapnya.
Alfian menambahkan, kepemerintahan tunggal ini dapat menyebabkan lambatnya proses antar dinas dan kepala SKPA dalam proses sinkronisasi pembangunan.
“Istilahnya direncanakan di awal tidak selesai dengan proses perencanaan secara matang, misal gambar pembangunan itu setelah tender baru dibuat, itukan butuh tidak hanya satu bulan,” pungkasnya.
Dirinya menambahkan kembali, inilah mentalitas birokrasi kita. Tidak melihat bagaimana output yang dibangun nanti, tapi melihat bagaimana ‘uang’ yang mereka dapatkan nanti.
“Ini sesuatu hal yang jahat, dan harus dibasmi di birokrasi sekarang. Artinya mereka tidak peduli dengan apa yang didapat di masyarakat. Sampai saat ini juga diketahui banyak sekali paket-paket tender yang belum di ACC, karena kita ketahui saat ini proses tender itu sangat lama dan disini pihak SKPA sangat hati-hati dalam melaksanakan hal ini karena pola kepemimpinan kita yang otoritas tunggal,” jelasnya.
Ia mengatakan, selama ini pola kepemimpinan dari gubernur ada yang salah. Jadi untuk meminimalisir SiLPA terjadi lagi ditahun-tahun selanjutnya, proses pembangunan apapun itu harus diproses secara clear/benar.
“Contoh, pembangunan irigasi, yang pertama harus disiapkan yaitu bagaimana proses pembangunannya jangan hanya proses alokasi anggarannya saja,” tegasnya.
Walaupun diketahui adanya yang namanya Percepatan dan Pengedalian (P2K) APBA, tapi disini diketahui lebih ke proses penyerapan anggaran, namun yang harus dikejar juga bagaimana proses dari pada pembangunan tersebut.
“Disini diketahui juga dari pihak eselon II juga tidak sembarangan dalam melaksanakan tugas, karena pola kepemimpinan Gubernur Aceh itu tunggal. Jadi ini sebenarnya soal manajemen, dan bisa jadi SiLPA ditahun 2022 bisa jadi lebih besar lagi, karena ini soal kepemimpinan gubernur kita,” tutupnya kepada Dialeksis.com.[FAT]