Koalisi Partai Dinilai Sudah Cacat Karena Tak Akomodasi Keinginan Konstituen
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Hardianto Widyo Priohutomo menilai keadaan koalisi partai yang ada di era sekarang sudah tidak sehat lagi.
Ia mengatakan, teori koalisi partai ialah untuk memenangkan suatu Pemilihan Umum (Pemilu) dengan cara bersepakat pada satu ketokohan yang sama.
Akan tetapi, kata dia, idealnya koalisi dibangun berdasarkan ideologi. Koalisi partai haruslah dibangun untuk menjawab keinginan konstituennya atau keinginan masyarakat pendukung partai.
Diceritakan sebelumnya, di Indonesia pernah ada koalisi poros hijau, yaitu sebuah koalisi poros muslim seperti PAN, PKB, PPP, dan PKS untuk mengalahkan PDI-P, Gerindra dan sebagainya.
Target market koalisi poros hijau tersebut menyasar ke umat muslim. Akan tetapi koalisi tersebut kalah dalam pemilu.
Dari kejadian itu, Hardianto bertanya-tanya, mengapa negara dengan mayoritas muslim terbesar tidak berhasil membuat poros hijau dan gagal mendulang suara.
Setelah ditelisik, kata dia, ternyata partai-partai yang tergabung di dalam situ adalah partai yang tidak memiliki hubungan kuat dengan akar rumput. Di pikiran masyarakat awam, kata koalisi itu hanya penggabungan partai-partai saja tanpa berdampak pada anggota partai yang lain.
“Ini menarik, mengingat bahwa partai sebenarnya dibangun untuk hubungan masyarakat dengan pemerintah, selain sebagai kendaraan politik, pendidikan politik dan sebagainya.Tapi kenyataannya kan tidak begitu. Terujinya ketika bikin koalisi, hanya partai-partai yang memiliki hubungan kuat dengan akar rumput saja yang mampu menggerakkan masyarakat,” ujar Hardianto kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (20/6/2022).
Menurut Hardianto, partai yang sukses menggerakkan masyarakat ialah PDI-P. Dalam konteks saat ini adalah Partai NasDem. Karena NasDem disebut belajar dari pengalaman PDI-P.
Akademisi Ilmu Politik UNAS itu menyatakan, akhir 2015 koalisi partai sudah cacat. Hal itu disebabkan karena motivasi membangun koalisi bukan lagi untuk mengakomodasi kepentingan konstituennya, tetapi lebih ke arah kepentingan pragmatis.
Kata dia, contohnya bisa dilihat sekarang dimana ketum-ketum partai sangat berambisi untuk maju sebagai calon presiden.
“Kok saya merasa mereka ini bikin koalisi buat mereka pribadi ya. Padahal koalisi itu sejatinya dibangun berdasarkan kehendak masyarakat pendukung partainya itu. Masyarakat itu inginnya apa mestinya diakomodasi,” tuturnya.
Kemudian, lanjut dia, di saat NasDem mengunci Anies Baswedan sebagai Bakal Calon (Balon) Presiden RI untuk pemilu 2024, respons partai politik yang lain kenapa malah memisahkan diri dengan membuat poros baru.
Seharusnya, kata dia, jika konstituen partainya itu menginginkan Anies Baswedan maju sebagai calon Presiden RI, maka kepentingan masyarakat tersebut baiknya didukung saja.
“Jangan tiba-tiba emosi, terus ngambek. Lalu tiba-tiba Raffi Ahmad mau di dukung jadi presiden meskipun hanya wacana. Ini menurut saya adalah bentuk dari ketidakdewasaan berpikir. Semakin ke sini arah politiknya semakin dagelan,” tutupnya.(Akhyar)