Beranda / Berita / Aceh / Ketua Yara Aceh: Sampaikan Data Pelanggaran HAM ke Presiden Jokowi, Jangan Terjebak Simbol

Ketua Yara Aceh: Sampaikan Data Pelanggaran HAM ke Presiden Jokowi, Jangan Terjebak Simbol

Jum`at, 23 Juni 2023 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Zulkarnaini

Ketua YARA, Safaruddin SH. 



DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kedatangan Presiden Joko Widodo ke Aceh pada tanggal 27 Juni mendatang harus disambut baik oleh seluruh elemen masyarakat Aceh. 

Kunjungan kerja tersebut sebagai awal implementasi rekomendasi dari Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu (PPHAM). 

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, dalam wawancara dengan DIALEKSIS.COM pada Jumat, 23 Juni 2023 di Banda Aceh.


Menurut Safaruddin, penting bagi masyarakat Aceh untuk menyambut kunjungan Presiden Jokowi dengan sikap yang positif. Kedatangan Presiden Jokowi, elemen masyarakat mampu menyampaikan data yang valid mengenai jumlah pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh. 

Hal ini akan memperkuat upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM dan memberikan keadilan kepada korban.

Safaruddin juga menekankan dalam pertemuan dengan Presiden, fokus utama haruslah pada penyelesaian masalah pelanggaran HAM dan implementasi rekomendasi PPHAM. 

Dia mengingatkan agar tidak terjebak dalam perdebatan seputar simbol-simbol atau hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan utama kunjungan Presiden.


“Bagaimana pemenuhan hak-hak korban, itu yang paling penting, bila itu tidak dipenuhi itu penghinaannya. Sampaikan data jumlah pelanggaran HAM, berapa korban pelanggaran HAM, itu yang harus yang sampaikan kepada Pak Presiden,” kata Safaruddin. 


Menurut Safaruddin, pemerintah telah menyediakan perangkat lembaga seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk mendata korban pelanggaran HAM di Aceh. 


Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibentuk dengan tujuan untuk mengungkap kebenaran mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan memfasilitasi proses rekonsiliasi antara korban dan pelaku. 

Sementara itu, Badan Reintegrasi Aceh (BRA) bertugas dalam upaya reintegrasi sosial dan pemulihan korban pelanggaran HAM.


“Kedua perangkat lembaga itu selama ini hanya menampilkan wawancara korban saja, tapi data jumlah pelanggaran HAM tidak pernah disampaikan ke publik, di mana data itu?,” katanya. 

Safaruddin mengatakan KKR dan BRA, tidak menampilkan data yang seharusnya menjadi tugas mereka, dia berpendapat kurangnya publikasi data tersebut merupakan masalah yang perlu diperhatikan.

“Kita tidak tahu apa yang dikerjakan oleh BRA dan KKR, tidak ada data yang dipublis ke publik,” katanya. 

Safaruddin setuju bahwa di lokasi Rumoh Geudong dibangun museum. Namun, menurutnya, yang paling penting adalah data pelanggaran HAM harus disampaikan kepada Presiden, karena Presiden Jokowi telah mengakui adanya pelanggaran HAM di Aceh. Ketika terjadi pelanggaran HAM, penting untuk mempertimbangkan kompensasi dan pemenuhan hak korban oleh negara.

“Ketika pelanggaran HAM terjadi, korban memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi dan pemenuhan hak yang layak dari negara. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban dan membantu dalam proses rekonsiliasi dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM,”katanya. 


Menurutnya kompensasi itu dapat berupa bentuk restitusi, rehabilitasi, kompensasi finansial, pengakuan terhadap kebenaran dan penderitaan yang dialami korban, serta langkah-langkah lain yang dapat membantu dalam memulihkan korban dan masyarakat yang terkena dampak.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI