Beranda / Politik dan Hukum / Mantan Ketua Komnas HAM Kecewa Atas Penghancuran Rumoh Geudong

Mantan Ketua Komnas HAM Kecewa Atas Penghancuran Rumoh Geudong

Jum`at, 23 Juni 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Mantan Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2017-2022, Ahmad Taufan Damanik. [Foto: Antara] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2017-2022, Ahmad Taufan Damanik menyampaikan kekecewaan terhadap penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong, salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie, Aceh.  

"Pada tahun 2018 sampai tahun 2020, Komnas HAM periode 2017-2022 telah melakukan penyelidikan dan telah menyelesaikan penyidikan tersebut serta telah menyerahkan kasusnya ke Kejaksaan Agung," kata Taufan kepada Dialeksis.com, Jumat (23/6/2023).  

Taufan mengatakan, peristiwa Rumoh Geudong merupakan salah satu tonggak sejarah yang paling menyedihkan di Aceh dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, karena kekejamannya luar biasa dan menimpa banyak rakyat Aceh, baik yang dicurigai sebagai anggota dari gerakan separatis maupun tidak terbukti karena tidak memiliki dasar untuk disebut sebagai anggota separatis. 

Menurutnya, Rumoh Geudong ini hanya satu simbol saja sebenarnya pos-pos penyiksaan yang merupakan pelanggaran HAM berat itu atau kejahatan terhadap kemanusiaan itu terjadi di berbagai tempat di Aceh, namun yang paling fenomenal adalah Rumoh Geudong. 

Tahun 2018, saat tim Komnas HAM turun ke Pidie dalam proses melakukan penyidikan itu sempat bernegosiasi dengan bupati dan wakil bupati setempat serta dengan tokoh-tokoh masyarakat di sana.

Waktu itu, kata Taufan, muncul ide untuk menjadikan Rumoh Geudong tersebut atau areal penyiksaan itu sebagai situs sejarah untuk bukan saja rakyat Aceh, tetapi seluruh warga negara Indonesia bahkan umat manusia di dunia ini bisa belajar dari sejarah kelam itu. 

"Bukan untuk menghujat satu kelompok tertentu, tapi untuk kita belajar dan tentu masih ada masa depan kita dengan pelajaran sejarah yang buruk itu bisa mencegah terjadinya keberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat," jelasnya.

Namun, lanjutnya, isu hari ini bahwa lokasi Rumoh Geudong tersebut akan diratakan dan dibangun rumah ibadah. Padahal, lokasi itu satu memorial structure yang bisa dijadikan pelajaran sejarah di Aceh.

Diketahui sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam sedikitnya 12 peristiwa di masa lalu.

Adapun tiga kasus pelanggaran HAM berat tersebut berasal di Aceh, yakni peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Pidie 1989, Peristiwa Simpang KKA Aceh Utara 1999, dan kejadian di Jambo Keupok Aceh Selatan 2003.

Satu sisi, ia mengapresiasi pengakuan dari Presiden yang sudah mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Namun pada kunjungan kerja orang nomor satu di Indonesia itu untuk melakukan kick-off penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu di Aceh secara non-yudisial, ia meminta Jokowi meninjau dan mendalami ulang serta memperbaiki pendekatan yang belum sempurna sehingga menjadi jembatan penguat persaudaraan antara Aceh dan Jakarta yang sudah berpuluh-puluh tahun mengalami masalah.  

"Kita tidak bisa memunafikan sejarah bahwa Aceh dan Jakarta pernah puluhan tahun bermusuhan. Tahun 2005 di bawah pemerintahan SBY-JK ada MoU Helsinki dan itu menjadi penanda awal kembalinya Aceh menjadi bagian dari Indoensia dan itu harus dirawat, salah satunya dengan menyelesaikan pelanggaran HAM berat," jelasnya. 

Menurutnya, penyelesaian HAM berat masa lalu ini perlu dilakukan dengan penuh ketulusan, kemauan yang kuat serta mendengarkan suara para korban HAM.

"Saya meyakini Pak Jokowi adalah orang yang sangat perhatian, saya merasakan ketulusan bapak presiden di dalam menjalankan urusan pemerintahan terutama dalam menyelesaikan masalah yang puluhan tahun menghantui bangsa kita," pungkasnya. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda