Ketua DKA Kritik Konsep Pengembangan Seni Budaya Aceh Minim
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA) Provinsi Aceh, Teuku Afifuddin M.Sn. Foto: for Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh - Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA) Provinsi Aceh, Teuku Afifuddin M.Sn., mengkritik kurangnya konsep dan arah yang jelas dalam memajukan adat dan kebudayaan, termasuk kesenian di Aceh. Melalui bincang eksklusif bersama Teuku Afifuddin mengungkapkan bahwa hingga saat ini, pemerintah Aceh belum memiliki konsep yang konkret untuk pengembangan seni dan budaya di wilayah tersebut.
"Kita sering mendengar tentang pentingnya mempertahankan kebudayaan, tetapi tanpa adanya alokasi dana yang tepat, semua itu hanya menjadi wacana kosong," ujar Teuku Afifuddin kepada Dialeksis.com (23/05/2024).
Ia menegaskan bahwa banyak politisi kerap berbicara tentang ancaman budaya luar tanpa memberikan solusi nyata untuk memperkuat budaya lokal melalui dukungan finansial yang memadai.
Teuku Afifuddin juga menyoroti hasil Kongres Dewan Kesenian Se-Indonesia yang baru-baru ini diselenggarakan. Menurutnya, meskipun masalah alokasi dana untuk kesenian dibahas dalam kongres, hasilnya seringkali hanya sebatas retorika.
"Hasil kongres sering kali hanya seperti bungkus pisang goreng atau kacang, tidak berguna karena tidak diikuti dengan tindakan nyata," ungkapnya.
Evaluasi terhadap program pemerintah di Aceh menjadi sangat penting. Teuku Afifuddin mengkritik minimnya investasi dalam seni dan budaya yang seharusnya menjadi pilar utama dalam membentuk peradaban yang tinggi.
"Budaya yang tinggi sangat bergantung pada estetika, dan itu ada di seni. Tanpa investasi yang baik, kita hanya akan menyaksikan kehancuran budaya kita secara perlahan," ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya regulasi yang jelas untuk memastikan penggunaan anggaran yang efektif dalam bidang kesenian.
"Anggaran tidak akan bermanfaat jika tidak diatur dengan baik. Harus ada kanun yang mengatur penggunaan anggaran untuk kesenian," jelasnya.
Teuku Afifuddin memberi contoh Aceh Besar yang memiliki kanun pemerintahan gampong yang memperbolehkan penggunaan anggaran desa untuk kesenian, meskipun persentasenya tidak disebutkan.
Di tingkat provinsi, Aceh masih belum memiliki payung hukum yang jelas mengenai berapa persen anggaran yang harus dialokasikan untuk kesenian dan budaya, bagaimana pelaksanaannya, dan siapa yang bertanggung jawab dalam pengawasan.
"Ini perlu dipikirkan bersama dan dirancang dengan baik sehingga rencana kesenian dan kebudayaan ke depan bisa berjalan," tegasnya.
Selain masalah anggaran, visi kebudayaan juga perlu diperhatikan. Menurut Teuku Afifuddin, kebudayaan atau kesenian tidak cukup dilihat hanya dari pertunjukan atau kanvas, tetapi harus membentuk kehidupan yang berestetika.
"Esensi dari kesenian adalah estetika. Jadi, bagaimana kita membentuk kehidupan di Aceh yang berestetika harus dirancang dengan visi yang jelas," pungkasnya.