kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ketika Nasir Djamil Desak Garuda Bantu Nyak Sandang

Ketika Nasir Djamil Desak Garuda Bantu Nyak Sandang

Jum`at, 22 Maret 2019 12:05 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Aceh - Warga Aceh tentu belum lupa dengan sosok Nyak Sandang, pria sepuh yang beberapa waktu lalu viral pemberitaannya, baik di media sosial maupun nasional.

Nyak Sandang yang kini matanya telah pulih pasca operasi katarak oleh tim dokter kepresidenan pada 28 maret 2018 lalu, kini diberitakan berangkat menunaikan ibadah umroh pada maret 2019 ini. Bahkan Permintaan terakhir Nyak Sandang kepada Presiden Jokowi agar dibangun sebuah masjid di gampongnya, Desa Lhuet (Lamno), Kecamatan Jaya, Aceh Jaya direncanakan akan terealisasi pada tahun ini.

Nyak Sandang adalah salah satu orang yang ikut andil menyumbangkan harta kekayaannya untuk membeli pesawat pertama Indonesia. Hal ini berawal dari tahun 1948, saat Presiden Sukarno berkunjung ke tanah Aceh guna mencari dana untuk pembelian pesawat pertama setelah Indonesia merdeka kala itu, Nyak Sandang muda yang masih berusia 23 tahun. Bersama orang tuanya menjual sepetak tanah dan 10 gram emas. Hartanya yang dihargai Rp100 pun diserahkan kepada negara untuk membeli pesawat pertama Indonesia.

Presiden Sukarno pun menerima sumbangan dari masyarakat Aceh sebanyak SGD 120 ribu dan 20 kg emas murni untuk membeli dua pesawat terbang yang diberi nama Seulawah R-001 dan Seulawah R-002. Dua pesawat tersebut merupakan cikal bakal maskapai Garuda Indonesia Airways.

Terlepas dari keterlibatan berbagai pihak sehingga negara kemudian turun tangan "membalas jasa" terhadap sosok penyumbang pesawat cikal bakal pesawat komersial di tanah air ini, rasanya tidak dapat dipungkiri akan peran dibalik layar politisi asal PKS M. Nasir Djamil.

Anggota komisi III DPR RI Nasir Djamil meminta Pimpinan Garuda Indonesia untuk dapat memenuhi keinginan Nyak Sandang warga Lamno Aceh Jaya yang masih memegang obligasi (surat hutang) RI-001 untuk dapat menunaikan ibadah haji dan menyelesaikan pembangunan Masjid di dekat tempat tinggalnya,

Hal itu disampaikan Nyak Sandang kepada Nasir Djamil saat Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini berkunjung kerumah Nyak Sandang pada 19 Maret 2018.

Nasir menilai permintaan menunaikan ibadah haji dan membangun masjid di dekat rumahnya tersebut bukanlah suatu hal yang muluk, "sebagai salah satu warga negara yang telah berjasa berkontribusi kepada negara dalam mewujudkan kemerdekaan di Indonesia setidaknya haruslah di apresiasi oleh negara. Karena bagaimanapun juga tanpa jasa mereka belum tentu negara ini ada. "

Salah satu yang diharapkan dapat memenuhi keinginan Nyak Sandang ini menurut Nasir adalah melalui Maskapai Garuda Indonesia yang terlahir dari pesawat RI-001 yang merupakan sumbangan dari warga Aceh saat kemerdekaan Indonesia 72 tahun silam.

Pesawat yang dibeli dengan sumbangan dari rakyat Aceh pada era Presiden Soekarno itu merupakan cikal bakal berdirinya perusahaan tersebut, "Tidak ada salahnya Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan terbaik milik negara ini bisa mengapresiasi keinginan Nyak Sandang untuk berhaji ke tanah suci dan membangun masjid didekat kediamannya. "

Walaupun memang obligasi yang diberikan saat itu seharga 100 rupiah pada tahun 1950, namun bukan berarti nyak sandang ini meminta balas jasa kepada pemerintah, 100 rupiah pada masa itukan juga bukan jumlah yang sedikit, satu sen sekalipun pada masa persiapan kemerdekaan itu sangat berarti bagi negara,

"Saya yakin beliau dan masyarakat Aceh pada masa itu sangat ikhlas memberikan sumbangan kepada pemerintah indonesia, namun tidak ada salahnya bangsa yang besar seperti Indonesia ini mengingat dan mengapresiasi jasa mereka yang berjasa untuk negara ini, tidak terkecuali Nyak Sandang. " Tutur Nasir Djamil.

Selain itu Nasir Djamil juga mendesak pemerintah untuk segera memberi kejelasan kepada sejumlah para pemegang surat obligasi pembelian pesawat pertama Republik Indonesia.

Selain Nyak Sandang, tercatat sejumlah pemegang obligasi lainnya di Meulaboh dan Pidie.

Anggota Komisi III DPR itu mendorong agar Pemerintah Daerah maupun Pusat cepat menyikapi hal ini. Sehingga, dapat ditentukan pemberlakuan atas Surat Obligasi yang berusia puluhan tahun tersebut. (PD)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda