Beranda / Berita / Aceh / Kesaksian Novel Baswedan, Akui Ada Serangkaian Upaya Pelemahan KPK

Kesaksian Novel Baswedan, Akui Ada Serangkaian Upaya Pelemahan KPK

Senin, 18 Oktober 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengaku sudah melihat upaya pelemahan KPK sejak 2014, saat ia dan rekan-rekannya menangani kasus yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA).

Dampak dari korupsi semacam itu, kata Novel, begitu besar. Bahkan untuk memperbaikinya perlu waktu lama dan memakan banyak biaya.

Pelan-pelan, kemudian terjadi upaya pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis. Namun, karena masifnya dukungan publik langkah tersebut gagal. Masyarakat mendukung KPK lantaran muak dengan para koruptor, kata Novel.

Saat KPK mampu menjangkau kasus di level tertinggi, pelemahan itu semakin kentara. Isu pertama yang dianggap upaya melemahkan KPK yakni radikalisme di internal lembaga itu.

Mulanya, Novel Cs tak mau berhubungan dengan isu radikalisme lantaran hal tersebut tak sesuai fakta. Mengingat di KPK banyak pegawai dengan latar agama dan etnis yang berbeda.

"Bayangkan, ketika disebut itu radikal, Taliban atau apapun itu, seolah-olah hanya satu di KPK: hanya orang Muslim saja yang bekerja. Padahal tidak begitu," tegasnya.

Pekerjaan memberantas korupsi, katanya, memiliki risiko ancaman yang besar bahkan tak jarang mengalami serangan.

Novel pernah disiram dengan air keras saat menuju rumahnya usai melaksanakan salat Subuh di masjid pada 2017 lalu. Imbas insiden itu, mata kirinya tak bisa lagi melihat.

Dengan ancaman sebesar itu, Novel dan teman-temannya mencari perlindungan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Isu mengenai radikalisme kemudian pelan-pelan dijadikan bahan untuk menuding KPK melakukan penyadapan yang tidak sesuai prosedur. Padahal proses di lembaga itu hati-hati dan check-balance yang kuat.

Isu itu terus berjalan hingga 2019. Di tahun itu pula, ada perubahan Undang-Undang KPK. Banyak yang menilai perubahan itu sebagai titik nadir lembaga anti korupsi di Indonesia.

Usai adanya UU yang dinilai problematis, ada tahapan baru yang ditempuh yakni peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal menurut Novel, untuk memberantas korupsi dengan efektif perlu independensi dan dijauhkan dari intervensi.

Lalu pada Januari 2020, ada beberapa kasus besar yang mesti ditangani. Namun mereka seperti dihalang-halangi.

Desember 2020, KPK menangani beberapa kasus besar seperti kasus bantuan sosial, kasus di Kementerian Kelautan dan Perikanan, kasus mafia pajak dan kasus lain.

Kasus tersebut ditangani oleh mereka yang dituding radikal. "Saya yakin yah, di belakang itu ada oknum-oknum dan ada koruptor yang berkolaborasi," katanya. (CNN Ind)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda