Beranda / Berita / Aceh / Keluarga Punya Tanggung Jawab untuk Populerkan Kembali Sastra Aceh yang Kian Redup

Keluarga Punya Tanggung Jawab untuk Populerkan Kembali Sastra Aceh yang Kian Redup

Sabtu, 24 September 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Pemerhati Sastra Aceh, Abzari Jafar SS MA. [Foto: ist] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Melihat bahasa dan sastra Aceh sebagai sebuah identitas dalam masyarakat Aceh seakan-akan sedang berada dalam semua dunia perang saudara yang tidak berkesudahan, dalam hati ingin memajukan bahasa dan sastra Aceh, tapi apa daya seperti perahu kertas di lautan. 

Istilah itu mungkin terlalu kejam dalam menggambarkan kondisi keberlangsungan dan kemajuan sastra Aceh di tanah rencong, tetapi jika ingin merenung ada benarnya juga.

Menurut Pemerhati Sastra Aceh, Abzari Jafar, SS., M.A mengatakan, sastra Aceh berada seperti sebuah simbol yang bertarung dalam arena kultural dalam istilah Pierre Bourdieu (pemikir Sosiologi Sastra, Prancis).

Kata Dosen UIN Ar-Raniry itu, sastra Aceh dipaksa bertarung dalam arena kultural Aceh itu sendiri, mirisnya arena tersebut dipenuhi dengan simbol-simbol lain yang telah lama mendominasi dan menguasai arena itu.

“Dalam hal ini bukanlah bertarung dengan sastra dalam medium bahasa lain, tetapi bertarung dengan simbolik lain yang lebih masif dan mendominasi arena kultural Aceh bahkan arena pikiran kita sendiri,” jelasnya lagi.

Sehingga, lanjutnya, sastra Aceh seperti tidak memilik tempat selain pada acara seremoni tertentu yang menyebabkan kemunduran sastra Aceh makin nyata.

Abzari melihat kemunduran sastra Aceh ini menjadi tanggung jawab semua pihak, dari kelompok masyarakat terkecil (keluarga) hingga negara berkewajiban untuk mempopulerkan kembali bahasa dan sastra Aceh yang makin dianggap gaul.

“Tidak perlu jauh, hari ini coba kita lihat rumah kita sendiri, seberapa banyak dri kita menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa komunikasi di rumah dan memperkenalkan sastra Aceh kepada anak dan cucu kita,” ungkapnya

Ia menambahkan, seakan ada rasa malu dan terkesan kampungan saat anak/cucu hanya jago bahasa Aceh dan tidak lihai berbicara bahasa Indonesia.

Dalam hal ini, kata dia, perlu dipertanyakan nasionalisme keacehan dan sastra Aceh menjadi simbol yang hampir tidak bisa bertarung dalam arena kultural Aceh sendiri.

“Untuk menjawab kegelisahan sangat dibutuhkan peran semua pihak dalam memajukan bahasa dan sastra Aceh,” imbuhnya.

Kehadiran UU Nomor 5 tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan dan kehadiran prodi bahasa dan sastra Aceh di ISBI Aceh yang akan segera dibuka menjadi angin segar.

“Sekarang pertanyaan besar kita sebagai orang dewasa yang mungkin masih peduli, sejauh mana kita berperan memajukan bahasa dan sastra Aceh dari rumah kita,” pungkasnya. (Nor)


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda