Kawasan Hutan Adat Upaya Mencegah Gempuran Penambangan Emas
Font: Ukuran: - +
DIALEKSISI.COM| Takengon- Pada 4 April 2019, PT. Linge Mineral Resource menerbitkan pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan dalam rangka studi AMDAL, dengan data sebagai berikut; Jenis rencana usaha: Penambangan dan Pengolahan Bijih Emas Dmp. Luas: 9.684 Ha. Produksi: maksimal 800.000 ton/tahun. Lokasi: Proyek Abong, Desa Lumut, Linge, Owaq dan Desa Penarun, kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.
Lokasi pertambangan emas itu merupakan tempat bersemayam raja-raja Linge. Salah satu daerah cikal bakal lahirnya masyarakat Gayo, suku tertua di Aceh. Hal inilah yang menjadi alasan kuat menolak tambang.
Masyarakat di Kecamatan Linge merupakan kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah itu. Secara geografis Linge merupakan sebuah Kerajaan dulu di Aceh, yang memiliki ikatan pada asal usul leluhur. Ada hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan berdampak terhadap kerusakan lingkungan, punahnya kopi Gayo akibat cuaca ekstrem yang ditimbulkan aktivitas pertambangan, hilangnya budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Masyarakat Adat di Linge dan Gayo.
Wilayah adat Linge seluas 186.266,36 ha merupakan titipan leluhur Kerajaan Linge, dan daerah tersebut secara turun-temurun dimiliki dan dikelola secara lestari hingga generasi sekarang.
Akan tetapi sejak PT Linge Mineral Resource mendapatkan IUP Eksplorasi pada tahun 2009 dengan nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 dengan luas area 98.143 hektare, komoditas Emas DM, di Kecamatan Linge dan Bintang Aceh Tengah.
Dari luas tersebut, 19.628 hektare berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan hutan lindung (HL), sisanya 78.514 hektare di kawasan Hutan Produksi. Izin PT. LMR tidak sesuai dengan RTRW Provinsi Aceh dan RTRW Kabupaten Aceh Tengah, karena wilayah tersebut bukan wilayah pertambangan.
Pentingnya Hutan Adat
Sejumlah elemen masyarakat Aceh Tengah berdiskusi tentang upaya mempertahankan hutan adat, situs budaya, dan keberlangsungan Kopi Gayo, Minggu (26/5/2019) di Gedung Pendari.
Diskusi yang dilakukan merupakan inisiatif dari LSM Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-ko) didukung oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Balai Arkeologi Medan dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).
Koordinator Jang-ko, Maharadi menyebutkan, diskusi dilatarbelakangi kondisi untuk mendukung dan mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman pertambangan oleh perusahaan.
Berdasarkan RTRW, hanya 23 persen wilayah kabupaten Aceh Tengah adalah Areal Penggunaan Lain (APL), dan 77 persen adalah kawasan hutan. Apabila perusahaan mendapatkan izin untuk beraktivitas, wilayah pembangunan untuk masyarakat Aceh Tengah seperti lahan pertanian kopi akan semakin mengecil.
Aktivitas perusahaan tambang akan merusak hutan yang telah dijaga dengan lestari. Hutan tersebut juga berdampingan dengan usaha perkebunan kopi arabika Gayo, sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Wilayah tersebut juga adalah situs sejarah kerajaan Linge yang wajib dijaga. Nilai-nilai tersebut sangatlah penting untuk kehidupan masyarakat Linge.
"Dengan adanya nilai nilai tersebut, kawasan ini mempunyai potensi besar untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan adat, dimana masyarakat bisa mengelola hutan dan mengedepankan nilai kearifan lokal masyarakat adat Gayo.
Penetapan hutan adat menjadi solusi bagi masyarakat Linge agar mampu hidup berdampingan dengan alam serta untuk melindungi tanah-tanah adat dari jamahan tangan-tangan perusak di masa depan.
"Menurut kami, upaya penetapan Kawasan Hutan Adat sangat mendesak, karena didalamnya terdapat rumah penduduk, lahan pertanian masyarakat dan beberapa situs budaya." jelas Maharadi. (rel)