Beranda / Berita / Aceh / Kaum Alaiddin Gelar Maulid dan Santunan Anak Yatim, Tutup Acara dengan FGD

Kaum Alaiddin Gelar Maulid dan Santunan Anak Yatim, Tutup Acara dengan FGD

Minggu, 02 Januari 2022 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora
Keluarga Besar Kaum Alaiddin gelar acara peringatan maulid Nabi Muhammad Saw sekaligus santunan bagi anak yatim di Lambada Kupi, Gampong Pineung, Lamgugop, Kota Banda Aceh, Minggu (2/1/2022) pagi. [Foto: Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keluarga Besar Kaum Alaiddin gelar acara peringatan maulid Nabi Muhammad Saw sekaligus santunan bagi anak yatim di Lambada Kupi, Gampong Pineung, Lamgugop, Kota Banda Aceh, Minggu (2/1/2022) pagi.

Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan tamu undangan, termasuk para keturunan Sultan Alaiddin yang sekarang ini menjadi generasi penerus bangsa Aceh. 

Di samping sebagai bentuk kecintaan terhadap nabi Saw, ihwal pagelaran acara maulid ini juga sebagai sarana untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah antar sesama keluarga.

Namun, terdapat hal unik dalam perayaan maulid tersebut. Jika biasanya perayaan maulid Nabi Muhammad Saw identik dengan ceramah, perayaan maulid itu disajikan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD).

FGD yang dibahas juga memiliki tema yang sangat menarik, yakni pembahasan seputaran eksistensi kaum Alaiddin di tengah umat pada kondisi sekarang.

Narasumber yang dihadirkan juga orang-orang yang cakap di bidangnya. Terhitung ada empat panelis yang diberikan waktu untuk berbicara monolog sebelum akhirnya dilanjutkan dengan sesi tanya jawab atau memberi tanggapan dari materi yang disampaikan para narasumber.

Sebelum FGD dimulai, Ketua Panitia Acara Maulid Nabi Muhammad Saw, Tuanku Alfi Syahril mengucapkan terima kasih atas kerja keras semua jajaran panitia acara dalam menyukseskan acara tersebut.

Dalam sambutannya, ia berharap agar peringatan maulid itu diridai oleh sang khalik dan bisa dicatat sebagai amal saleh untuk bentuk kecintaan mereka terhadap sosok baginda Rasulullah Saw.

“Kepada seluruh keluarga yang berpartisipasi dalam acara peringatan maulid Nabi Muhammad Saw ini, baik yang menyumbang tenaga atau bantuan dana dan waktu, semoga dengan terselenggarakan acara yang sederhana ini bisa menjadi catatan amal saleh bagi kita semua dan diterima oleh Allah Swt,” ujar Tuanku Alfi Syahril.

[Foto: Dialeksis]

Keturunan Alaiddin Harus Bisa Jaga Sikap

Masuk dalam FGD, Anggota DPRK Banda Aceh, Tuanku Muhammad berharap, pasca acara selesai semoga bisa menimbulkan persepsi yang sama antar sesama keluarga besar kaum Alaiddin.

Soalnya, kata dia, keturunan Alaiddin generasi sekarang yang menyandang gelar Tuanku atau Tengku harus bisa memberi peran yang membekas di tengah masyarakat.

Terutama, lanjut dia, dalam segi penokohan, watak, dan cara berperilaku dalam masyarakat. menurutnya, hal yang terpenting yang harus ditanam dalam benak ketika menjadi seorang yang berdarah Alaiddin ialah menjaga sikap.

Sehingga, kata Anggota DPRK Kota Banda Aceh itu, meskipun keberadaan generasi penerus Sultan Alaiddin sedikit di Aceh, tapi pihaknya bisa menyuguhkan sesuatu yang lebih di tengah masyarakat dalam posisi masing-masing dan tak dianggap biasa-biasa saja.

“Menyandang nama Tuanku dan Tengku memiliki nilai lebih di kita. Memang tidak semua dari kita berposisi sebagai walikota, atau posisi sebagai anggota dewan. Tapi, apapun posisi kita, kita harus bisa berperan lebih. Lebih pada kesopanan dan lebih pada akhlak. Ini yang harus kita bangkitkan pada hari ini,” ungkap Tumad sapaan akrabnya itu.

Neraca Perimbangan

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komando Al-Asyi, Tuanku Warul Walidin. Menurutnya, menjadi seorang keturunan Alaiddin harus cakap dalam mengimbangi neraca perimbangan.

Berdarah Alaiddin, kata dia, merupakan sebuah aset. Ia tak memungkiri jika terlahir dari silsilah yang bersambung nasab pada Sultan Alaiddin adalah keistimewaan yang Allah Swt berikan.

Namun, lanjutnya, dengan aset tersebut seseorang yang menyandang nama Alaiddin haruslah orang yang bisa mendirikan agama secara kaffah dan bisa memanfaatkan aset itu untuk bermanfaat kepada umat.

Tuanku Warul Walidin menegaskan, seorang Alaiddin harus menanamkan beban dalam benak mereka untuk membawa Aceh pada kejayaan dalam porsi masing-masing.

“Menyandang nama Alaiddin, kita mempunyai tanggung jawab moril di sini. Jadi, kalau kita berbuat salah, bukan sekedar malu orangtua kita, tetapi malunya seluruh kaum. Ini yang perlu kita sadari dan yang perlu kita pahami bahwa ada satu keistimewaan dalam darah kaum Alaiddin ini dan juga ada beban dan tanggung jawab kita bersama,” jelasnya.

Harus Bersatu, Tak Boleh Mental Blok

Di sisi lain, Khatibul Muluk Kaum Alaiddin, Tuanku Muntazar sangat berharap agar sesama anggota keluarga Alaiddin tak bercerai-berai atau menumbuhkan sifat mental blok masing-masing.

Ia menegaskan, sesama keluarga harus saling bersama dan satu “bahasa” untuk saling bersinergi dan berkontribusi bersama dalam mewujudkan legasi untuk kemajuan Aceh di kancah nasional maupun internasional dalam posisi masing-masing.

Bagaimana pun posisinya, jelas dia, yang di depan harus menjadi teladan, yang di tengah harus bisa saling membangun interaksi, dan yang di belakang harus menjadi pendorong semangat untuk semua.

“Saya lihat, kita terlalu terbangun oleh mental blok yang luar biasa. Masing-masing memilih jalan sendiri-sendiri, tidak ada yang berbicara dalam konteks membangun legasi sehingga kita punya satu arah ke depan. Kita harus maju ke depan dalam satu ‘bahasa,’ jangan bermental blok. Kalau kita sendiri-sendiri, kita nggak akan maju. Kita akan ketinggalan terus,” ungkap Tuanku Muntazar atau akrab disapa Ayah Cek.

Upaya MAPESA Pertahankan Eksistensi Sejarah Aceh

Sementara itu, Aktivis Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA), Masykur menegaskan, sejauh ini MAPESA sedang bergerak dalam kegiatan rekonstruksi sejarah Aceh. rekonstruksi ini, jelas dia, adalah gerakan dalam menyusun ulang sejarah Aceh karena kebanyakan sejarah Aceh banyak yang dicaplok dan dirubah kesahihan sejarah karena ditulis oleh para orientalis. 

Selain itu, Masykur bercerita jika bukti sejarah Aceh atau peninggalan sejarah Aceh seperti manuskrip, stempel dan lainnya yang seharusnya dipegang oleh keturunan sultan tapi banyak tercecer dimana-mana.

“Ada bukti sejarah kita yang bahkan diperjual belikan di toko-toko antik. Benda-benda pusaka yang seharusnya kita pugar, tapi terjual di media-media sosial. Beberapa kali, kami (MAPESA-Red) mampu menyelamatkan bukti sejarah kita dari agen-agen antik. Ini merupakan salah satu upaya kami untuk memperkaya khasanah dalam bidang sejarah Aceh,” pungkas Masykur.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda