Kasus SPPD Anggota Dewan Aceh Tamiang, Ini Respon Praktisi Hukum Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Praktisi Hukum di Aceh, Hermanto. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Aceh Tamiang - Kasus dugaan mark-up Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang senilai Rp8,7 miliar kembali menjadi perhatian Polres Tamiang.
Praktisi Hukum di Aceh, Hermanto mengatakan, seharusnya Polres Aceh Tamiang menyampaikan perkembangan penanganan terkait dengan kasus Mark Up SPPD Anggota DPRK Aceh Tamiang sejumlah 8,7 Miliar.
"Sehingga publik bisa mengetahui sejauh mana sudah perkembangan kasus tersebut, sudah berapa orang saksi-saksi yang diperiksa, Apakah kasus tersebut memenuhi unsur tindak pidana korupsi atau bahkan kasus tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (20/10/2021)
Lanjutnya, Kata Hermanto, terkait dengan kasus tersebut pernah ditangani oleh unit Tipikor polres Aceh Tamiang dan sampai saat ini belum ada informasi apapun, maka hal yang bisa dilakukan adalah mempertanyakan kepada pihak kepolisian apakah kasus tersebut masih diproses atau bahkan sudah dihentikan.
“Jadi perlu peran berbagai pihak untuk mengawal proses kasus tersebut karena menyangkut dengan kerugian keuangan daerah,” ujarnya.
Kemudian, Hermanto menjelaskan, terkait dengan Pasal yang dapat dikenakan kepada pelaku dugaan Mark up SPPD adalah Pasal 2 ayat (1) UU tipikor yang berbunyi, “(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
“Atau Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),” jelasnya.
Hermanto menyampaikan, terkait dengan dugaan DPRK Aceh Tamiang yang melakukan Mark Up SPPD tersebut.
“Ya seperti kita ketahui semua orang Indonesia menganut asas Equality Before The Law yang artinya semua orang sama dihadapan hukum, Jadi baik dewan maupun masyarakat biasa harus sama penanganannya, jangan sampai ada diskriminasi,” pungkasnya. [ftr]