Kadis ESDM: Perlu Dukungan Masyarakat untuk Pengelolaan Migas di Aceh
Font: Ukuran: - +
Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Aceh, Ir.Mahdinur, saat mengikuti web seminar yang mengusung tema “Apa Manfaat BPMA Untuk Masyarakat Aceh” yang digelar oleh Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM) [Sumber: Tangkapan Layar Aplikasi Zoom]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdinur, Sabtu (02/10/2021) mengatakan, dalam mengembangkan potensi migas yang dimiliki Aceh, selain dibutuhkan pengelolaan secara optimal oleh pemerintah, dukungan dari seluruh kalangan terhadap pengelolaan migas juga sangat dibutuhkan. Sehingga peningkatan pendapatan daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat semakin dirasakan dan dapat berjalan lancar.
Hal itu ia sampaikan, dalam web seminar yang mengusung tema “Apa Manfaat BPMA Untuk Masyarakat Aceh” yang digelar oleh Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM), Sabtu hari ini. “Saya rasa tanpa dukungan dari masyarakat akan sulit kita jalankan. Pengelolaan migas harus bisa memberikan manfaat bagi negara, daerah serta akan membawa manfaat bagi masyarakat,” ujar Mahdinur.
Ia menuturkan, pengelolaan potensi migas adalah hasil perdamaian Aceh yang melahirkan UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dimana dalam pasal 160 ayat 1 dan 2 tercantum bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh mengelola bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi, yang berada di darat dan laut pada wilayah kewenangan Aceh dengan membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.
Menindak lanjuti hal itu, Gubernur Aceh mengeluarkan SK No. 542/323/2013, sehingga melahirnya Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Pendirian BPMA ini dibutuhkan guna mendorong keikutsertaan Pemerintah Aceh dalam pengelolaan migas supaya memberikan manfaat yang lebih besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Tugas BPMA sendiri telah dicantumkan dalam UU nomor 11 tahun 2006 dan PP nomor 23 tahun 2015 yang menjelaskan bahwa, tugas utama BPMA adalah melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu, agar dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk kemakmuran rakyat,” jelas Mahdi.
Di kesempatan itu, ia menyebutkan, BPMA sebagai badan yang berkontribusi dalam pengelolaan migas dan peningkatan pendapatan Aceh mempunyai peranan penting, mulai dari mendukung dan meningkatkan pembinaan terhadap alih kelola Blok B yang sudah diperoleh, dan melakukan pengawasan yang ketat untuk peningkatan produksi dan pembukaan lapangan baru.
Kemudian, BPMA juga menjadi fasilitator dan pendukung Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) untuk memperoleh Partisipasi Interes (PI) yang maksimal, serta mendukung rencana BUMA untuk memperluas usahanya pada sektor Migas seperti pembangunan tangki kondensat pada KEK Arun.
Hal itu, kata Mahdi, sejalan dengan langkah dan upaya yang dilakukan Pemerintah Aceh dalam upaya meningkatkan pendapatan Aceh yaitu, mengambil alih pengelolaan potensi minyak dan gas bumi Blok B, meningkatkan produksi dan pembukaan lapangan baru, Partisipasi Interes pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) Produksi, dan meningkatkan peran BUMA dalam rangka meningkatkan kontribusi pendapatan Aceh.
Mahdi menyebutkan, saat ini terdapat 12 wilayah kerja migas aktif yang ada di Aceh, dimana 9 wilayah diantaranya menjadi kewenangan Pemerintah Aceh melalui BPMA berupa area yang berada di daratan dan di bawah 12 mil laut, sedangkan 3 wilayah lainnya menjadi kewenangan SKK Migas berupa area yang berada di atas 12 mil laut.
Dari 9 wilayah yang menjadi kewenangan BPMA, kata Mahdi, masih ada 1 wilayah yang sedang dalam proses alih kewenangan dari SKK Migas ke BPMA yaitu WK Pertamina Aset 1 (PT. Pertamina EP Rantau).
Mahdi mengungkapkan, terkait pendapatan pengelolaan migas Aceh sejak tahun 2017 hingga tahun 2020 masih sangat fluktuatif. Di tahun 2017, total Dana Bagi Hasil (DBH) dan Tambahan Dana Bagi Hasil (TDBH) migas Aceh masih rendah yaitu sebesar 213 miliar per tahun.
Rendahnya pendapatan DBH dan TDBH dikarenakan terjadinya penurunan produksi atau lifting secara alamiah karena produksi migas masih diharapkan pada lapangan-lapangan dan sumur-sumur lama yang ada di Aceh.
Kemudian, pada tahun 2018, terjadi peningkatan pendapatan DBH dan TDBH Aceh menjadi Rp 353 miliar per tahun. Hal ini dikarenakan kurang pembayaran di tahun-tahun sebelumnya yang dibayarkan di tahun 2018 dan juga disebabkan PT. Pertamina Hulu Energi NSB berada pada masa akhir kontrak, sehingga mereka meningkatkan produksi secara maksimal pada Blok B.
Seterusnya di tahun 2019, pendapatan Aceh masih tinggi yaitu sebesar 333 miliar per tahun, dikarenakan pada tahun itu PT. Medco E&P Malaka sudah mulai berproduksi sehingga menambah produksi dan pendapatan migas Aceh, dan pada tahun 2020 yang lalu terjadi penurunan secara alamiah menjadi 194 miliar per tahun.
Mahdi berharap, agar ada kesamaan persepsi serta kolaborasi dari semua kalangan, agar saling memahami peran dan tugas masing-masing sehingga, tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari.”Kalau belum 1 persepsi maka akan sulit kita jalankan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Formalitas dan Hubungan Eksternal BPMA, Adi Yusfan, juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk dapat mendukung pemerintah Aceh, agar dapat memberikan yang terbaik dalam pengelolaan migas di Aceh l.
“Ayo sama-sama kita bangkitkan Aceh, dengan mengatasi tantangan yang ada sehingga industri migas di Aceh kembali berjaya seperti masa Arun dahulu,” ujarnya