Jika PT Socfindo Nagan Raya Terbukti Mencemari, Wajib Ditindak Oleh Pusat
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Aceh, Muhammad Nur. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Nagan Raya Aceh kini masih terus melakukan penelusuran terkait kasus dugaan pencemaran lingkungan di kawasan perkebunan PT Socfindo Seumayam di Desa Alue Geutah, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya sehingga menyebabkan ikan air tawar mati di sungai. Adanya sebuah indikasi itu karena keracunan limbah.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Aceh, Muhammad Nur mengatakan, Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) itu 100 Persen wajib menyediakan lahan untuk pengelolaan limbah.
“Itu perintah dan banyak sekali aturannya, itu ada di Undang-undang (UU), PP, dari Kemneterian, dan sebagainya,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Kamis (28/10/2021).
Kemudian, M Nur mengatakan, PKS itu punya kewajiban untuk tidak mencemari lingkungan sekitar.
“Setiap PKS itu benar menghasilkan limbah, hasilnya itu adalah limbah yang terkontrol, yang terevaluasilah, apakah itu enam bulanan, dalam hal ini DLHK yang dapat menjawab hal ini,” sebutnya.
Lanjutnya, M Nur menjelaskan, tapi dalam hal ini, PT Socfindo itu adalah perusahaan sawit yang paling tua.
“Kalau tidak salah saya PT Socfindo itu adalah perusahaan cikal bakal sawit di Indonesia, nah jadi mungkin harus ditindak lanjuti, kalau memang terbukti perusahaan PT Socfindo terlibat dalam pencemaran linkungan,” ucapnya.
M Nur menjelaskan, dan sebenarnya itu juga harus melalui proses verifikasi. “Kalau memang melakukan pencemaran lingkungan, tentu ada mekanisme teguran. Misalkan disurati untuk diperbaiki dan diberikan waktu, ketika dia (Perusahaan) melakukannya, dia (Perusahaan) bisa ditindak, apakah dengan penutupan, atau pergantian produksi dan terakhir bisa dipidana oleh negara,” jelas M Nur.
Ia juga menjelaskan, nah sekarang, yang dapat mempidana perusahaan itu langsung ke pemerintah pusat.
“Pemerintah Daerah (Pemda) tidak punya kewenangan lagi,” tambahnya.
Sementara itu, Kata M Nur, kewenangan Pemda dan Provinsi itu melaporkan temuan ke pemerintah pusat, itu sesuai dengan kebijakan.
“Kebijakan sekarang, semua izin, pembekuan, penindakan itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat pasca lahir UU Omnibuslaw atau UU Cipta Kerja, karena itu peran dinas itu kecil sekali kalau melakukan penindakan,” sebut M Nur.
Lanjutnya Lagi, paling peran Dinas itu meminta klarifikasi pertanggung jawaban kepada perusahaan, seperti PT Socfindo.
“Bukti itu ada banyak, misalkan kalau dia (Perusahaan) mencemari air, buktinya adalah hasil Lab. Jadi bukan, sekedar cara memandang, misalkan airnya pekat hitam, kalau sekedar memandang air pekat hitam, semua limbah airnya pekat dan hitam,” tukasnya.
M Nur menjelaskan lagi, kecuali dia (Air/Limbah) keluar dari wilayah pekarangan kerja dari perusahaan itu, dan itu baru bisa di usut. “Itupun harus melalui prosedur. Adapun Prosedurnya adalah, sample air harus dimasukkan ke Lab, harus didatangkan ahli untuk mengecek, dan harus melalui proses Uji Lab, dan hasil Lab itu yang kemudian menjadi bukti, jadi bukti itu bukan cakap atau ucapan ataupun yang dilihat,” jelasnya.
M Nur mengatakan, Bukti itu adalah berupa dokumen yang dikeluarkan oleh Lembaga Resmi. “Seperti misalnya, Balai POM, atau Universitas Syiah Kuala, atau secara resmi mendapatkan pengakuan negara dan dokumen itu yang bisa dijadikan bukti. Jadi gak mungkin air dibawa kemana-mana sebagai bukti, jadi harus berupa hasil Lab buktinya. Jadi semua itu ada teknis prosedur pengambilan, jadwal pengambilan,” pungkasnya. [ftr]