Beranda / Berita / Aceh / WALHI Aceh: Perilaku Premanisme Dihutan Harus Diburu

WALHI Aceh: Perilaku Premanisme Dihutan Harus Diburu

Minggu, 03 Oktober 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Aceh, Muhammad Nur. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Petugas patroli kehutanan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) diserang oleh pelaku yang diduga perambah hutan lindung di wilayah Desa Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh. Sabtu (25/9/2021).

Akibat dari penyerangan tersebut, petugas mengalami memar, satu unit kendaraan roda empat dan delapan sepeda motor milik petugas turut dirusak.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Aceh, Muhammad Nur mengatakan, yang pertama, kita ikut prihatin, hal seperti ini bukanlah hal yang baru.

“Sebelum petugas mengalami penghadangan, banyak juga tokoh-tokoh warga yang mengalami hal yang serupa,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Minggu (2/10/2021).

Ia mengatakan, hanya kebetulan pada petugas negara yang bisa menghebohkan. “Tapi intinya, kegiatan perilaku soal Premanisme dilokasi yang kaya potensi hutan itu adalah tak bisa dipungkiri, disanalah kemudian menunjukkan kepada negara adanya hukum rimba,” kata Nur.

Selanjutnya, Kata Nur, yang terjadi adalah ada situasi adanya hukum rimba, bahwa di hutan itu yang kuat adalah singa. “Lalu siapa singa itu, silahkan negara memburunya,” tegas Nur.

Nur juga mengatakan, bahwa kasus yang sama juga pernah dialami salah satu jurnalis Serambi Aceh.

“Jadi situasi ini menunjukkan bahwa keamanan diri sendiri maupun petugas itu (TNGL) tidak ada, karena negara tidak memberikan hal itu, dalam hal ini negara tidak serius mengatasi kehadiran hukum menurut saya, inikan persoalan keadilan hukum, akses, ruang, dan tempat,jadi negara itu diminta untuk hadir dalam aksi apapun,” kata Nur.

Oleh karena itu, Ia menyampaikan, jangan saat adanya ilegal logging negara hadir, tapi memutus rantai bagaimana pasok kayu ilegal dan pengambilan kayu tidak pernah dikerjakan.

“Jadi sama saja, disini yang disayangkan petugas. Jadi kalau negara serius sebenarnya, harus dimulai dengan menyetop semua sumber-sumber kayu yang ilegal. Dan lokasi yang paling mudah diperiksa itu adalah panglong kayu, tangkap dulu penampungnya, kemudian, cari siapa yang suplai. Pertanyaan disini negara serius tidak?,” tambahnya.

Menurutnya, kalau ini didiamkan terus, kasus kedepan itu semakin parah.

“Bahwa premanisme itu atau singa dihutan itu akan menunjukkan taringnya atau giginya, nah kali ini bukan lagi berbicara mungkin. Tapi pemburu di hutan itu harimau bergigi, jadi situasi seperti ini menurut saya darurat,” tegasnya.

Adapun kejadian itu diselesaikan secara damai, Menanggapi hal itu, Nur mengatakan, penyelesaian seperti itu jalan tengah yang tidak pernah cocok sebenarnya.

“Pertama persoalannya, trauma petugas. Apakah berani melakukan upaya penghadangan terhadap ilegal logging di lokasi? Lalu beranikah petugas itu menunjukkan taringnya atau harimau hutan lebih kuat, itukan semacam sinyal bahwa, kali ini diselesaikan dengan damai (Adat), lain kali mati kalian! Ada jaminan hal seperti itu?, bahwa penyelesaian Adat itu dapat menghentikan ilegal logging, ada jaminannya?,” tegas Nur lagi.

Persoalan itu hanya pendekatan Adat supaya tidak diproses hukum, Kata Nur, itukan mekanisme yang tidak efektif.

“Boleh penyelesaian secara Adat, secara psikolognya pendekatan Adat. tapi secara kasus ilegal loggingnya tetap harus di pidana, dan itu hal yang berbeda. Ilegal logging hukum tersendiri, fisik hukum tersendiri. Dan menurut saya fisik itulah yang masuk hukum Adat,” ujar Nur.

Lanjutnya, “Bahwa pendekatan itu (Adat), seolah-olah bahwa ilegal logging akan berhenti total atau subur total. Dan kalau ilegal logging ini subur total maka ini jadi catatan buruk,” tambahnya.

Tidak ilegal logging itu adalah perkara kepolisian, Nur mengatakan, sedangkan kehutanan itu punya kewenangan pemantauan. Jadi, sebenarnya harus ada kolaborasi dalam memberantas ilegal logging.

“Kepolisian berkolaborasi dengan KPH, menuntaskan perkara ini. Jadi, kalau misalkan tidak ada kolaborasi dengan kepolisian dan Balai Besar Taman Nasional dan KPH, maka kasus ini dianggap kasus pribadi. Bisa jadi karena dendam atau apalah, kita kan tidak tahu, jadi menurut saya untuk menyelesaikan kasus ilegal logging diwilayah taman nasional ini, harus bekerjasama lah. KLHK dibawah TNGL, KPH, dan POLDA Aceh, karena objek hukumnya itu berada di Provinsi Aceh,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda