Ini 3 Catatan Pengamat terkait Distribusi Lahan Pertanian bagi Kelompok Korban Konflik
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah beberapa waktu lalu meminta agar bupati dan wali kota se-Aceh mengidentifikasi tanah pertanian untuk didistribusikan kepada eks kombatan GAM dan tahanan/narapidana politik, serta masyarakat korban konflik.
Surat bernomor 100/12790, tertanggal 20 Agustus 2019 ini ditujukan kepada bupati/wali kota se-Aceh.
Menurut Pengamat Politik dan Keamanan Aceh Aryos Nivada, itu merupakan langkah baik Pemerintah Aceh.
"Hal tersebut menunjukan pemerintah Aceh berkomitmen dalam menjalankan amanah dari butir-butir Nota Kesepahaman (Memory of Understranding/Mou) Helskini," ujarnya, Jumat (20/9/2019).
Pada butir 3.2.5. MoU Helsinki disebutkan, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh. Tujuannya untuk melancarkan reintegrasi mantan pasukan GAM dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.
"Inti dari program ini adalah untuk terwujudnya keadilan sosial serta pemerataan bagi masyarakat Aceh, terutama masyarakat Aceh yang terkena langsung dampak konflik," ujarnya.
Dia menambahkan, kebijakan ini juga selaras dengan proses penyelenggaraan Reforma Agraria Plus yang dicanangkan pemerintah pusat, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan warga memanfaatkan tanah secara baik.
Karena itu, akademisi FISIP Unsyiah ini memberikan beberapa catatan terkait kebijakan pendistribusian tanah/lahan pertanian oleh Pemerintah Aceh bagi tiga kelompok penerima bantuan korban konflik: eks kombatan, tapol/napol dan masyarakat terkena dampak konflik.
"Pertama, diperlukan mekanisme pendistribusian serta pengelolaan tanah atau lahan pertanian tersebut secara tepat sasaran, tepat manfaat, tepat guna, sesuai dengan mekanisme ketentuan perundangan yang berlaku serta terjaminnya transparansi dan akuntabilitas."
Tepat sasaran, dia menjelaskan, tanah yang didistribusikan haruslah sampai kepada penerima yang berhak, yaitu eks kombatan, tapol/napol dan masyarakat yang terkena langsung dampak konflik.
Adapun tepat manfaat artinya tanah/lahan yang didistibusikan dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal oleh penerima manfaat. Sementara tepat guna, proses pendistribusian dan pengelolaan lahan pertanian disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
"Dalam hal pendistribusian lahan pertanian ini, pemerintah Aceh harus menjamin proses tersebut berjalan sesuai dengan mekanisme ketentuan perundangan yang berlaku. Artinya sesuai dan tidak bertabrakan antara peraturan yang berlaku secara nasional dan peraturan yang berlaku secara khusus (lex spesialis) di Aceh," tegasnya.
Catatan selanjutnya, urai Aryos, Pemerintah Aceh melalui SKPA terkait seperti Badan Reintegrasi Aceh (BRA) harus memiliki data yang jelas, valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait masyarakat penerima bantuan tanah/lahan pertanian tersebut, baik data itu berasal dari Partai, Komite Peralihan Aceh ataupun data lain yang diperoleh dari hasil pendataan/investigasi di lapangan.
"BRA harus benar-benar serius dalam melakukan pendataan terhadap eks kombatan yang memang layak menerima tanah. Jangan sampai tanah hanya terdistribusi bagi eks kombatan yang sudah makmur namun yang bagi eks kombatan yang belum sejahtera dan tidak tersentuh bantuan sama sekali justru tidak menjadi prioritas," katanya.
Ketiga, terkait status tanah, menurut Aryos, Pemerintah Aceh nantinya perlu memperjelas status tanah yang akan didistribusikan tersebut, apakah akan menjadi hak pakai, hak guna usaha atau hak milik bagi masyarakat penerima manfaat.
"Kemudian agar tidak terjadi konflik nantinya, status lahan juga harus jelas apakah berasal dari bekas HGU, tanah terlantar, tanah negara, pelepasan kawasan hutan, atau kawasan hutan produksi untuk konversi," tandas peneliti politik itu.(red)