kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Industri Tembakau Kian Kreatif Gaet Generasi Muda di Tengah Kampanye KTR

Industri Tembakau Kian Kreatif Gaet Generasi Muda di Tengah Kampanye KTR

Jum`at, 01 November 2024 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Wini Dian Saftri, Manager Program The Aceh Institute. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingkat kepatuhan terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh masih menunjukkan hasil yang memprihatinkan. 

Dari total 145 titik yang telah diinspeksi dalam tiga bulan terakhir, hanya 26 area yang dinyatakan patuh, sementara 119 lainnya masih melanggar ketentuan. 

Data ini diungkapkan oleh Wini Dian Saftri, Manager Program The Aceh Institute, yang selama beberapa bulan terakhir terus memantau dan mengevaluasi penerapan KTR di Banda Aceh.

"Data ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam penegakan KTR, terutama di ruang publik. Dari 145 titik yang kami inspeksi, sebagian besar belum patuh dengan peraturan. Hanya 26 area yang memenuhi standar, sementara 119 lainnya masih melanggar,” jelas Wini kepada Dialeksis.com, Jumat, 1 November 2024.

Dalam hasil inspeksi tersebut, pelanggaran yang paling sering ditemukan adalah tidak adanya area khusus merokok, yang tercatat pada 84 area. 

Selain itu, sebanyak 53 area tidak menyediakan tanda larangan merokok, 31 area ditemukan adanya pemantik atau korek api, serta 14 area tercium aroma asap rokok. 

Temuan ini menunjukkan kurangnya komitmen terhadap kebijakan KTR, serta perlunya langkah-langkah lebih tegas dalam penegakan aturan ini.

"Ketika tidak ada tanda larangan, masyarakat cenderung tidak sadar akan aturan KTR di area tersebut, sehingga pelanggaran tetap terjadi," ujar Wini. 

Menurutnya, tanda larangan yang jelas merupakan salah satu upaya sederhana namun efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan bebas asap rokok.

Lebih rinci, tingkat kepatuhan KTR di Banda Aceh dari Agustus hingga Oktober menunjukkan tren yang fluktuatif. 

Pada Agustus, tercatat 13 area yang patuh dan 37 area tidak patuh. Namun, pada September, jumlah area yang patuh justru menurun menjadi hanya 6 area, sementara 42 area melanggar. Di bulan Oktober, terjadi sedikit peningkatan dengan 7 area patuh, namun 40 area tetap dinyatakan tidak patuh.

Menurut Wini, penurunan kepatuhan ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi yang merata mengenai kebijakan KTR di Banda Aceh. 

"Kebijakan yang ada saat ini, yaitu Qanun KTR Nomor 5 Tahun 2016, masih cukup baru, namun sosialisasinya belum selesai dilakukan secara merata,” ungkapnya.

Selain rendahnya kepatuhan terhadap aturan KTR, Wini juga menyoroti semakin kreatifnya strategi industri tembakau dalam menarik minat masyarakat, terutama generasi muda. 

Industri tembakau, katanya, kini tidak hanya mengandalkan iklan konvensional, tetapi juga memanfaatkan berbagai cara yang lebih halus untuk mempromosikan produknya.

“Seiring dengan gencarnya kampanye KTR, industri tembakau juga semakin gencar mengembangkan cara-cara baru, seperti memperkenalkan rokok dengan rasa buah atau tampilan yang menarik,” jelasnya. 

Menurutnya, tren ini menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam membatasi pengaruh iklan rokok yang kini semakin sulit dikenali dan dihindari, khususnya oleh anak muda.

Menanggapi berbagai temuan ini, Wini menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih intensif dan pendekatan yang lebih dekat dengan masyarakat. 

Menurutnya, masyarakat Banda Aceh perlu diberi pemahaman yang lebih baik mengenai dampak rokok, baik terhadap kesehatan pribadi maupun kesehatan publik.

“Salah satu tantangan utama dalam penegakan KTR di Banda Aceh adalah kurangnya sosialisasi serta kebijakan yang masih perlu diperkuat dengan kearifan lokal,” ujarnya. 

Wini menambahkan, agar kebijakan KTR benar-benar efektif, diperlukan kajian akademik dan diskusi mendalam dengan masyarakat. Dengan begitu, kebijakan ini bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman dan aspirasi lokal.

Melihat masih rendahnya tingkat kepatuhan, Wini mendorong pemerintah untuk memperkuat pengawasan dan sanksi bagi pelanggar KTR, serta menambah jumlah area khusus untuk merokok di tempat-tempat umum. 

Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan komunitas lokal untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda, tentang bahaya rokok.

Hasil pantauan The Aceh Institute ini diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pihak terkait untuk meningkatkan komitmen dalam mewujudkan kawasan tanpa rokok yang sesungguhnya, demi kesehatan generasi Aceh ke depan.

“Dengan penegakan yang tegas dan kampanye yang konsisten, kita bisa membangun Banda Aceh sebagai kota yang lebih sehat dan bebas dari asap rokok,” pungkas Wini.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda