kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Industri Raksasa yang Mati di Tengah Ladang Gas

Industri Raksasa yang Mati di Tengah Ladang Gas

Jum`at, 04 Januari 2019 19:45 WIB

Font: Ukuran: - +



DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara dikenal sebagai "Kota Petro Dollar" pada tahun 80-an, dikarenakan terdapat beberapa industri raksasa yang berdiri megah di dua daerah itu.

Bahkan daerah itu menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara dikala itu, namun sayang kemegahan itu tidak dapat bertahan lama dan kini industri raksasa yang berada di dua daerah tersebut telah berhenti beroperasi.

Pada tahun 1979 sejumlah negara ASEAN bersepakat untuk membangun PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Desa Krueng Geukuh, Kec. Dewantara, Aceh Utara. Pabrik itu memproduksi pupuk urea dan amonia cair sebagai produk sampingan. Menawarkan produk-produknya di Vietnam, Tiongkok, India, Ceylon, Kamboja, Jepang, dan Taiwan.

Dimana sahamnya dimiliki oleh anggota ASEAN, masing-masing Indonesia 60 persen, sisanya dimiliki Malaysia 13 persen, Filipina 13 persen, Thailand 13 persen, dan Singapura 1 persen.

Namun pada tahun 2004 pasokan gas mulai berkurang ke perusahaan itu, sehingga harus berhenti beroperasi. Meskipun demikian perusahaan masih tetap memberikan gaji kepada karyawannya sebanyak 845 orang, pada tahun 2007 perusahaan mulai tidak mampu lagi dan melakukan PHK seluruh karyawannya.

Nasib yang sama juga dialami oleh PT Kertas Kraft Aceh (KKA), perusahaan penghasil kertas semen  itu dibangun pada tahun 1985, di Desa Jamuan, Kecamatan Banda Baro, Kabupaten Aceh Utara, dengan nilai investasi USD 424,650,151.

Sejak tanggal 31 Desember 2007 sampai saat ini, PT Kertas Kraft Aceh menghentikan produksinya karena tidak ada ketersediaan pasokan gas dan ratusan karyawannya di PHK oleh perusahaan itu.

Tidak jauh dari dua pabrik itu terdapat ladang gas milik perusahaan PT Arun dan kini telah berganti nama menjadi PT Perta Arun Gas. Kilang gas tersebut seluas 271 ha dengan panjang 1,7 km dan lebar 1,5 km serta dilangkapi dengan pelabuhan khusus pengangkut produksinya.

Kilang LNG Arun dilengkapi dengan 2 buah pelabuhan LNG untuk pengiriman produksinya ke negara pembeli, sedangkan untuk pengiriman kondensat dilengkapi dengan 2 buah sarana pemuat, yaitu Single Point Mooring (SPM) dan Multi Buoy Mooring (MBM).Kilang gas itu dibangun di Desa Blang Lancang, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, dibangun pada tahun 1974.

Sementara itu, Anggota Dewan Komisi VI DPR RI Zulfa Lindan dalam wawancaranya saat kunjungan kerja ke Guest Houest PT Perta Arun Gas pada 31 Oktober 2016 lalu, mengaku belum mengetahui berapa jumlah gas yang diperlukan untuk menghidupi pabrik yang berhenti beroperasi itu.

"Kita terus berupaya agar industri yang berhenti beroperasi di Aceh bisa hidup kembali, mengenai berapa jumlah gas yang dibutuhkan untuk menghidupinya, masih belum kita hitung," ujar Zulfa Lidan.

Zulfa Lindan menambahkan, untuk sekarang ini, bisa diketahui Pemerintah Pusat masih belum terbuka dan sangat tertutup untuk memberikan informasi tentang migas. Begitu juga apabila ada hambatan yang terjadi, harus dibicarakan bersama.

Mengenai banyaknya industri besar yang berhenti beroperasi di Aceh, juga diakibatkan oleh persoalan gas, mulai dari ketersediaannya yang tidak cukup, hingga sampai harganya yang cukup mahal.

"Kalau dari jumlah ketersediaannya, gas Indonesia bisa untuk memenuhi untuk menghidupkan industri tersebut, namun persoalannya harganya yang mahal maka ini menjadi persoalan juga," ujar Zulfa Lindan. (agm)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda