Industri Perikanan di Aceh Kesulitan Ikan, Pemerintah Harus Turun Tangan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Bahtiar Gayo
Ketua ISMI Aceh, Nurchalis. [Foto: Roni/Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Para pengusaha ikan, khususnya industri ikan di Aceh saat ini kewalahan mendapatkan ikan dalam mengembangkan usahanya. Siklus ikan saat ini sudah bergeser dari Aceh.
Salah seorang pengusaha ekspor ikan yang juga ketua ISMI (Ikatan Saudagara Muslim Indonesia) Aceh, Nurchalis, menjawab Dialeksis.com, Rabu (7/4/2021) menyebutkan, para pengusaha ikan sudah 4 - 5 bulan kesulitan mendapatkan ikan yang layak industri di Aceh.
“Kalau pun ada, ikan yang ditangkap terbatas oleh nelayan. Itu juga ikannya diangkut keluar. Pengusaha di Medan dan di luar lebih banyak mendapatkannya, ikan di pres. Itu tentunya memang hak bagi setiap orang untuk melakukan perdagangan,” sebut Nurchalis.
“Kalau ada didapatkan ikan yang layak industri itu ada masa-masanya. Namun, lebih banyak atau lebih sering kita tidak mendapatkan harga yang layak industri,” jelasnya.
Melalui Dialeksis.com, Nurchalis berharap, kiranya ada upaya bagaimana nelayan-nelayan di Aceh bisa menggunakan teknologi. Kalau saat ini hampir 1 minggu lebih berada di laut, biasanya membawa es. Namun kadang, ikan yang dihasilkan masih ada yang kurang layak.
Dampaknya nelayan juga dirugikan. Harga jualnya jatuh karena kondisi ikan seperti itu. Pemerintah harus memikirkannya, minimal bagaimana seperti di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur. Di sana kapal-kapalnya sudah ada konturing.
“Artinya kapal-kapal itu sudah ada pembeku ikan usai ditangkap. Begitu ikan dibawa ke darat, harga jual ikan itu akan meninggi, karena ikan itu berkualitas. Sebenarnya itu harapan kami dan nelayan,” sebut ketua ISMI Aceh ini.
Para industri perikanan hari ini di Aceh sudah ada yang membuat pabrik ikan. Industri ini juga akan berkembang kalau hasil yang diperoleh nelayan kualitasnya bagus, sehingga nelayan juga mendapat penghasilan yang baik.
“Bagaimana mengefektifkannya, saat ini kan sudah ada organisasi yang dinahkodai panglima laut. Kiranya diurung rembuk bersama para pengusaha ikan, para nelayan, ketika banyak tangkapan nelayan, harganya tetap akan stabil,” sebutnya.
“Tujuanya jangan ketika ikan lagi berkurang, harganya melambung, pabrik industri ikan akan tutup. Kita juga harus prioritaskan ikan kepada para pengusaha yang ada di Aceh. Artinya ada penyetabilan harga, baik saat ikan melimpah atau lagi berkurang,” pinta Nurchalis.
Kiranya Qanun tentang tata niaga ikan di Aceh perlu dibuat. Agar nelayan tidak dirugikan, industri bisa tumbuh, kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Semuanya demi meningkatnya ekonomi masyarakat, jelasnya.
"Ke depannya pemerintah harus memikirkan, agar para nelayan tidak dirugikan, para industri perikanan akan semakin kompetitif. Pabrik-pabrik besar di luar Aceh juga membutuhkan bahan baku. Mereka bisa saja memainkan harga, tetapi bagaimana terhadap industri-industri yang hadir di Aceh itu sendiri, sehingga pada suatu saat dia butuh bahan baku, sangat sulit didapatkan karena ikan dijual keluar," tuturnya.
“Jadi harus dibuat keseimbangan ataupun kesetaraan. Di saat ikan melimpah ruah harga di nelayan juga bisa stabil. Begitu ikannya agak sulit, bagaimana pabrik-pabrik beku yang ada di Aceh itu mendapatkan ikan,” pintanya.
“Harus ada sebuah langkah strategis yang dilakukan. Sehingga apa yang sesuai dengan harapan panglima laut akan muncul. Begitu orang buat pabrik lagi disini dengan modal besar, tetapi mereka tidak layak mendapatkan harga segitu. Ini kan juga masalah buat kita,” kata Nurchalis.
Contoh, kata dia, hari ini ada perusahaan kita di Lampulo sudah merancangkan investasi yang begitu besar, tapi tidak berjalan investasi yang begitu besar itu. Lah ini kan sangat merugikan investor yang hadir disini untuk membantu.
Padahal, kata Nurchalis, dengan adanya pabrik krilisasi, ikan bisa dijadikan sarden, sehingga mendapatkan nilai pendapatan yang lebih oleh para nelayan.
4 bulan terahir ini pengusaha kapal mengalami kerugian karena harga tidak stabil. Begitu juga pabrik-pabrik, sudah 4 bulan tidak ada ikan. Ini yang harus diperhatikan pemerintah, sehingga alih teknologi itu bisa dilakukan.
Nurchalis berharap, harus diatur perencanaan jangka panjang terhadap industri-industri perikanan yang semakin tumbuh di seluruh nusantara. Selain itu, alih tehnologi kepada nelayan di Aceh harus dilakukan karena nelayan Aceh masih tradisional.
Nurchalis juga berharap agar para akademisi masuk dalam ranah ini. Pemerintah tentunya harus memberikan fasilitas yang mendukung, sehingga bisa efektif dan efisien serta mendapatkan pendapatan dengan kapal-kapal yang sudah modern. Namun pada hari ini para nelayan tidak mau menggunakan kapal besar karena pendapatan yang tidak sesuai.
“Kami berharap para akademis segera melakukan kajian serta bekerja sama dengan pemerintah daerah. Tentunya Pemerintah Aceh, Dinas Perikanan dan Kelautan untuk mengkaji hal tersebut. Sehingga industri di Aceh benar-benar tumbuh dengan kepastian bahan baku yang real,” pinta Nurchalis. (Baga)