Beranda / Berita / Aceh / Ikadin Aceh: Putusan MK Menghapus Pasal 74 UUPA

Ikadin Aceh: Putusan MK Menghapus Pasal 74 UUPA

Minggu, 02 Oktober 2022 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +


[Foto: Istimewa]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Banda Aceh, (1/10), Ketua Ikatan Advokat Indonesia Provinsi Aceh, Safaruddin, menyampaikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diputuskan oleh MK pada 29/9, secara mutatis mutandis berlaku juga terhadap UU Nomor 11/2006 (UUPA), khususnya pada pasal 74 ayat (1) sampai ayat (6) yang mengatur Penyelesaian Sengketa atas Hasil Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota ke Mahkamah Agung.

“Dengan adanya putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, maka ini juga berimplikasi pada pasal 74 UUPA yang mengatur kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada ke Mahkamah Agung secara serta merta akan tidak berlaku atau inkonstitusional karena MK telah menegaskan bahwa sengketa Pilkada menjadi kewenangan dari MK bukan MA sebagaimana diatur dalam pasal 74 UUPA”, Kata Safar dalam keterangannya yang diterima Dialeksis.com, Minggu (2/10/2022).

Sebelumnya MK memutusakan bahwa tidak berwenangan mengadili sengeketa Pilkada dan akan memerintahkan agar sengketa Pilkada diselesaikan oleh suatu Badan Peradilan Khusus. 

Namum, hingga saat ini Badan Peradilan tersebut tidak kunjung terbentuk, hal tersebut dapat ditelusuri, misalnya, dengan tidak ditindaklanjutinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU 10/2016 dengan membentuk undang-undang yang mengatur badan peradilan khusus pemilihan, yaitu dengan belum dicantumkannya dalam Program Legislasi Nasional. 

Sebelum badan peradilan khusus tersebut terbentuk, kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016], pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pilkada dari MK ke Badan Peradilan Khusus dahulu dikarenakan MK menafsirkan bahwa kewenangan MK hanya mengadili sengketa Pemilu, namun dalam perlajanan dan penelusuran naskah amandemen UUD 1945 MK menemukan bahwa tidak yang dimaksud dengan Pemilihan Umum secara nasional juga mencakup pemilihan kepala daerah.

"Tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk," 

Salah satunya, sambungnya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. 

Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilihanggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota’ jelas Safar mengutip bunyi pertimbangan MK dalam Putusan tersebut.

Untuk Itu menurutnya yang juga ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), putusan MK ini juga perlu menjadi masukan dalam revisi UUPA khususnya sebagai argumentasi dalam menghapus pasal 74 tersebut, sehingga UUPA tidak mengatur hal-hal yang sudah ketinggalan jaman yang sampai saat ini masih ada beberapa pasal dalam UUPA.

“Putusan MK ini menjadi salah satu argumentasi hukum dalam revisi UUPA untuk menghapus pasal 74 yang mengatur sengketa Pilkada di MA, karena pasal ini jika mengacu padal putusan MK tersebut maka pasal 74 UUPA juga akan inskontitusional secara hukum, dan ini perlu disampaikan dalam revisi UUPA agar UUPA tidak berisikan pasal-pasal yang ketinggalan jaman, tetapi mengupdate perkembangan politik hukum serta memproyeksikan perkembangannya sampai tiga puluh tahun kemudian untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh”, tutup Safar. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda