GeRAK Aceh Barat: Hukum Jangan Tebang Pilih
Font: Ukuran: - +
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra. [Foto; IST/Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Aceh Barat - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra mendorong Kepolisian dan Kejaksaan untuk terus menjalankan kewenangan dan fungsinya dalam penegakan hukum. Sesuai fungsinya, Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan perkara, seperti tindak pidana korupsi serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengatur tugas dan wewenang, pada Pasal 30 disebutkan tiga bidang. Yaitu Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara, dan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan tentang Peningkatan kesadaran hukum bagi masyarakat.
"Ada beberapa kasus yang menurut catatan dan dokumentasi kami yang perkaranya hingga saat ini tidak jelas upaya penyelesaiannya. Seperti kasus pinang betara, diketahui bahwa Kejari Aceh Barat mengambil alih penyelidikan pengadaan bibit pinang betara tahun 2018 senilai Rp 2,8 miliar yang sebelumnya ditangani oleh Polres Aceh Barat. Dalam penyelidikan kasus tersebut, hingga saat ini Seksi Pidana Khusus (Pidsus) telah memeriksa belasan saksi. Namun menurut hemat kami, tidak ada titik kejelasan dalam proses penyelesaiannya," jelas Edy kepada Dialeksis, Senin (27/4/2020).
"Begitu juga dengan peranan kepolisian. Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 3 menyebutkan Polri bertujuan mewujudkan tegaknya hukum. Tentunya, sesuai amanah Undang-undang, maka peran kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi atau kasus-kasus lainnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia, dan secara khusus di Kabupaten Aceh Barat," ungkapnya.
Edy melanjutkan, tercatat untuk kepolisian, kasus yang paling mencolok adalah prihal insiden duel adu jotos antara Bupati Aceh Barat Ramli MS dengan penagih utang telah dilaporkan ke Polres Aceh Barat oleh salah seorang yang merasa sebagai korban yaitu Zahidin alias Tengku Janggot pada Selasa (18/02/2020) lalu.
Informasi terakhir disebutkan bahwa Polres Aceh Barat telah melimpahkan berkas perkara tersebut ke Polda Aceh untuk penyelidikan lebih lanjut. Diketahui, perkara Bupati Aceh Barat selaku terlapor dalam kasus dugaan tindak pidana umum itu penyidik Polres Aceh Barat telah melakukan pemeriksaan terhadap lima orang saksi yang berada di lokasi saat terjadi adu jotos Bupati dengan sekelompok orang penagih hutang itu.
Dan sebagaimana disebutkan dalam berita, bahwa Kepolisian Daerah (Polda) Aceh akan menyurati Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta izin dilakukannya pemeriksaan terhadap Bupati Aceh Barat, Ramli MS terkait dugaan kasus penganiayaan tersebut.
“Surat sudah dibuat dan segera dikirim ke Presiden untuk izin memeriksa beliau (Ramli MS),” Dirreskrimum Polda Aceh Kombes Pol Agus Sarjito, Rabu (26/2/2020), silam.
Edy mengungkapkan, hingga kini tentunya publik bertanya tentang sejauh mana sudah penanganan perkara tersebut. Bila dilihat kronologis kejadian dugaan penganiayaan atau duel terebut, dan sesuai dengan amanah UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 55 Ayat (1), setiap tindakan penyidikan terhadap kepala daerah dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik. Maka proses sebagaimana disebutkan oleh pihak kepolisian, terutama Polda Aceh yang menyebutkan akan menyurati presiden dan jika lewat waktu 60 hari belum ada jawaban, maka proses penyelidikan tetap bisa dilakukan.
"Menurut hemat kami, kalau dihitung waktu kejadian perkara, maka waktu 60 yang disebutkan sudah melewati batas, dan tentunya kita menunggu komitmen pihak penyidik, apakah benar-benar serius menyelesaikan perkara ini atau tidak," ungkapnya.
"Tentunya, GeRAK Aceh Barat memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada pihak kepolisian, terkhusus Polres Aceh Barat yang dalam satu tahun terakhir (2019) telah banyak mengungkapkan berbagai kasus tindak pidana, terutama dalam praktek pengungkapan tindak pidana korupsi atau rasuah," ujar Edy.
Berdasarkan catatan GeRAK Aceh Barat, terkait dengan kasus korupsi tercatat beberapa kasus, ada beberapa Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang berlansung di Kabupaten Aceh Barat dan kemudian menyita perhatian publik. Dan yang paling sensasional adalah pada Juni 2019 lalu. Waktu itu Polres Aceh Barat disebutkan telah melakukan OTT terhadap lima orang dan salah satunya disebut-sebut sebagai oknum staf sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bernama SIAP.
Selain itu, ke empat orang lainnya yaitu dua orang pegawai negeri sipil (PNS) di Pemkab Aceh Barat, dan dua oknum polisi di luar Aceh Barat, dan dalam operasi tersebut turut diamankan sejumlah uang sebanyak Rp 900 juta lebih ikut disita sebagai barang bukti. Berdasarkan perkembangannya dan sebagaimana diberitakan oleh media massa.
OTT tersebut berkenaan dengan adanya dugaan bahwa oknum LSM SIAP tersebut mengumpulkan dana di Kabupaten Aceh Barat sebesar Rp 20 juta per desa untuk dilaksanakan bimbingan tekhnis (Bimtek) bagi aparatur desa (keuchik dan bendahara). Kutipan per desa tersebut diperuntukkan kepada dua orang yang nantinya akan diikutkan dalam kegiatan Bimtek yang diduga akan dilaksanakan di luar Kabupaten Aceh Barat.
"Tentunya, kita ingin perlu kejelasan hukum atau jaminan kepastian hukum atas berbagai perkara tersebut. Kita tidak ingin kemudian ada vonis di luar dari ketentuan hukum yang sudah diputuskan oleh pengadilan. Tentunya ini akan menimbulkan kecurigaan bahwa sebenarnya hukum seperti tebang pilih atau macet ketika dihadapkan dengan penguasa," ungkap Edy.
"Menurut hemat kami, tidak mungkin upaya perlindungan hukum dapat terwujud apabila proses penegakan hukum tidak berjalan efektif, proses penegakan hukum merupakan salah satu upaya untuk menjadikan hukum sebagai pedoman dalam setiap perilaku masyarakat maupun aparat atau lembaga penegak hukum," pungkas Koordinator GeRAK Aceh Barat itu. (sm)