kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / GEN-A Gelar Webinar Nasional Lintas Ilmu

GEN-A Gelar Webinar Nasional Lintas Ilmu

Selasa, 08 Desember 2020 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Public Health Innovators (PHI) yang merupakan sub-unit Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) berkolaborasi dengan Asian Medical Students’ Association (AMSA)-Unsyiah dan Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) FK Unsyiah mengadakan webinar berskala nasional yang diperuntukkan kepada tenaga kesehatan dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia pada Minggu (6/12/2020).

Bagian dari Pekan Peduli Antimikroba Dunia (World Antibiotic Awareness Week/WAAW), webinar ini bertemakan “Webinar Nasional One Health: Kolaborasi Multidisiplin dalam Mencegah Resistensi Antibiotik”. Tema webinar ini didasari atas tingginya peningkatan kasus resistensi antibiotik.

Pada tahun 2020, World Health Organization (WHO) telah mengemukakan Antimicrobial Resistance (AMR) sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan terbesar bagi masyarakat global yang dihadapi umat manusia.

Pengendalian AMR diusung oleh WHO dengan konsep One Health yang berarti bahwa berbagai sektor dan pemangku kebijakan yang terlibat dalam kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, produksi pangan dan pakan, serta lingkungan, harus berkolaborasi dalam merancang dan melaksanakan program, kebijakan, perundang-undangan, dan penelitian untuk mencapai kesehatan yang lebih baik secara keseluruhan.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung konsep tersebut melalui peningkatan kesadaran dan keilmuan akan resistensi antibiotik melalui penyampaian materi, diskusi, dan tanya jawab bersama tiga narasumber secara online melalui Zoom Cloud Meetings.

Selain itu, topik pembahasan webinar juga menekankan kolaborasi antara tenaga medis, calon tenaga medis, serta masyarakat umum dalam pencegahan resistensi antibiotik. Jumlah peserta webinar ini adalah sebanyak 363 orang.

Rangkaian kegiatan dimulai dari pukul 09.00 sampai 12.30 WIB, diawali dengan penyampaian materi oleh dr. Tristia Rinanda, M.Si yang merupakan staf pengajar bagian mikrobiologi FK Unsyiah dan mahasiswi program studi doktor Farmasi ITB.

“Saat ini kita sedang mengalami dual health threats: pandemi COVID-19 dan pandemi AMR. Orang-orang yang rentan terhadap COVID-19, juga rentan terhadap AMR. Resistensi antibiotik sulit dikendalikan penyebarannya karena manusia bersifat mobile sehingga sangat berpotensi menjadi permasalahan dunia”, jelasnya.

Ia menambahkan, mekanisme resistensi antimikroba terbagi menjadi tiga jenis yaitu, resistensi intrinsik, resistensi dapatan dan resistensi adaptif.

Materi kedua diisi oleh drh. Teuku Reza Ferasyi, M.Sc., Ph.D, yang merupakan dekan Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah dan Kepala CENTROVETS-OHCC Unsyiah.

Dalam judulnya “Resistensi Antibiotik dari Perspektif Kedokteran Hewan” drh. Teuku Reza menekankan, resistensi antibiotik bukanlah penyakit melainkan keadaan dimana bakteri mampu bertahan dari antibiotik tertentu atau antibiotik menjadi tidak ampuh lagi untuk membunuh bakteri tersebut.

"Potensi resistensi antibiotik dari hewan bisa berasal dari hewan peliharaan, hewan ternak/produksi, hewan akuatik, dan satwa liar. Ketika hewan sudah mengalami resistensi antibiotik maka maka gen resistensi dapat tersebar ke manusia melalui produk yang dihasilkan oleh hewan tersebut (daging, susu, telur), lingkungan (air), feses hewan, atau paparan langsung dari hewan ternak," jelasnya.

"Kemudian jenis antibiotik yang dilarang pada hewan seperti Antibiotic Growth Promotor (AGP) dan colistin," tambahnya.

Materi terakhir dijelaskan dari sudut pandang farmasi yang disampaikan oleh dosen Jurusan Farmasi FMIPA Unsyiah dan apoteker Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., M. Pharm. Apt.

“Untuk memulai terapi antibiotik, syarat pertamanya adalah adanya infeksi pada seseorang, kemudian diidentifikasi patogen penyebabnya, kemudian menentukan pilihan terapi antibiotik yang sesuai dengan saran dokter, tidak dibenarkan melakukan self-diagnosed, dan tahap selanjutnya adalah monitor respons dari terapi tersebut.” jelas Azizah.

Ia juga menekankan bahwa cara mendapatkan antibiotik yang benar seharusnya melalui fasilitas kesehatan yang sesuai, bukan melalui apotek langsung atau pembelian online.

"Konsumsi antibiotik secara bebas akan menyebabkan antibiotik tidak efektif lagi, biaya rawatan bertambah tinggi karena antibiotik lini terakhir banyak yang tidak ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional, peningkatan masa rawatan di rumah sakit dan potensi resiko kematian," tutupnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda