Beranda / Berita / Aceh / Elemen Sipil Berharap Pemerintah Bangun Citra Pendidikan Publik Melalui Memorialisasi Situs Penyiksaan

Elemen Sipil Berharap Pemerintah Bangun Citra Pendidikan Publik Melalui Memorialisasi Situs Penyiksaan

Rabu, 26 Juni 2024 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

uDiskusi sebelum penyerahan data peta digital Pelanggaran HAM di Aceh ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Rabu (26/6/2024). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam upaya memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan, Koalisi elemen sipil masyarakat yang terdiri dari Asia Justice and Rights (AJAR), KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan PASKA Aceh menyerahkan data peta digital Pelanggaran HAM di Aceh ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Rabu (26/6/2024).

Penelusuran dan verifikasi situs penyiksaan peta digital telah berhasil memetakan 160 titik penyiksaan masa lalu sejak 1989 hingga 2005 dari 11 kabupaten/kota di Aceh. 

Dalam hal ini, Manager Program AJAR Indonesia, Mulki Makmur, menekankan pentingnya pengungkapan kebenaran sebagai landasan perbaikan. 

Ia juga menaruhkan sejumlah harapan dan rekomendasi yang diharapkan dapat dijalankan oleh pemerintah Aceh, KKR Aceh, serta pemerintah nasional.

"Kami memiliki banyak harapan yang kami gantungkan kepada pemerintah, baik pemerintah Aceh, KKR Aceh yang telah diberikan mandat, maupun pemerintah nasional di Indonesia. Salah satu harapan utama kami adalah agar tidak ada lagi kejadian serupa yang terjadi, baik itu konflik berulang maupun penyiksaan, baik di wilayah privat maupun publik," ujar Mulki kepada awak media yang dihadiri oleh Dialeksis.com.

Menurut Mulki, laporan dari kelompok masyarakat sipil yang fokus pada monitoring kasus penyiksaan menunjukkan bahwa pola penyiksaan masih terus berulang. Hal ini menandakan perlunya tindakan konkret dari pemerintah untuk menghentikan praktik tersebut. 

"Kami berharap pengungkapan kebenaran ini dapat menjadi landasan bagi pemerintah untuk memperbaiki konteks upaya yang dilakukan. Ini termasuk dalam konteks interogasi, penangkapan pelaku, atau terduga pelaku, sehingga penyiksaan tidak terjadi lagi di masa depan," lanjut Mulki.

Selain itu, Mulki menekankan pentingnya pendidikan publik melalui memorialisasi situs penyiksaan. Dengan melibatkan partisipasi publik dalam proses ini, diharapkan para korban dapat merasakan kepuasan dan pemulihan.

"Kami yakin bahwa elemen pemulihan ini dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia tanpa harus menggunakan dana yang fantastis atau bombastis. Sudah banyak contoh yang dilakukan di berbagai wilayah konflik. Tetangga kita, Timor Leste, telah melakukan upaya-upaya mengenang lokasi penyiksaan dengan cara sederhana seperti meletakkan plakat di depan hotel," jelas Mulki.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh AJAR Indonesia, ditemukan bahwa beberapa lokasi di Aceh telah beralih fungsi, misalnya dari pos menjadi sekolah, rumah sakit, atau lokasi lapas. Di tempat-tempat ini, penting untuk menyampaikan informasi bahwa di masa konflik dulu pernah terjadi kekerasan dan penyiksaan, dengan harapan hal tersebut tidak terulang lagi di masa depan.

"Negara tetangga kita telah melakukan ini, dan negara-negara lain juga sudah melakukannya. Harapan kami, di Aceh, kita juga bisa menjadi tolak ukur pembangunan bangsa. Masyarakat negara lain juga dapat belajar dari kita, karena kita telah merawat perdamaian selama puluhan tahun. Aceh memiliki banyak hal yang dapat diberikan kepada bangsa ini," ujarnya. 

Dengan harapan besar ini, AJAR Indonesia mengajak seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk bersinergi dalam mewujudkan kondisi yang lebih baik, bebas dari kekerasan dan penyiksaan, demi masa depan yang lebih damai dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Karena kita sudah damai puluhan tahun dan Aceh juga menjadi salah satu ruang banyak yang bisa diberikan kepada bangsa, bagaimana kita merawat perdamaian menjadi lebih baik kedepannya," tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda