Dukung Qanun LKS Direvisi, Pengamat Ekonomi: Kontribusi Perekonomian Relatif Kecil
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Rustam Effendi Pengamat Ekonomi Senior Aceh
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bakal merevisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Revisi merupakan buntut kekacauan dan lemahnya pelayanan bank syariah yang ada di Aceh yang diperparah erornya layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) berapa hari belakangan ini.
Hal itu menurut DPRA sangat menyulitkan masyarakat yang selama ini menjadikan bank syariah sebagai tumpuan untuk bertransaksi.
Sejak gangguan itu, banyak pihak meminta kepada pemerintah pusat untuk mengembalikan bank konvensional untuk beroperasi kembali di Aceh, di samping adanya bank syariah.
Senada dengan pandangan DPRA, Pengamat Ekonomi Senior Aceh Rustam Effendi menilai sikap DPRA sudah tepat. Anggota dewan juga harus mendengar suara dari pihak-pihak yang selama ini sangat terdampak akibat Qanun ini seperti pelaku usaha atau swasta.
Menurutnya, DPRA perlu menghimpun masukan dari seluruh elemen masyarakat di daerah ini.
“Sudah saatnya keberadaan Qanun LKS dievaluasi, dengan kontribusi ekonominya yang relatif kecil terhadap perekonomian nasional (dibawah 2%), sepertinya sulit bagi Aceh untuk memacu pertumbuhan ekonominya lebih progresif ke depan,” kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala kepada Dialeksis.com, Rabu (17/5/2023).
Penerima Certified Islamic Financial Analyst (CIFA) itu menilai, jika kondisi seperti ini tidak secepatnya dibenahi, maka ekonomi Aceh terus terkungkung atau terperangkap, maka masalah pengangguran dan kemiskinan akan tetap sulit dicarikan jalan keluar.
Pemegang Certified Financial Risk Management (CFRM) menjelaskan, erornya layanan BSI sudah pasti akan menyebabkan terjadinya beberapa risiko.
Pertama, risiko operasional sehingga nasabah tidak dapat mengakses layanan dan macetnya transaksi perbankan. Ini tentu menimbulkan kerugian bagi para nasabah dan BSI itu sendiri.
Kedua, kata dia, terjadi risiko pasar. Produk layanan yang disediakan tidak terpasarkan sesuai harapan dan tidak berdampak kurang baik terhadap pendapatan operasional yang diterima BSI.
Ketiga, lanjutnya, error system ini juga akan berpengaruh terhadap risiko reputasi BSI (reputation risk). Jika ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama, maka kian memperburuk citra bank di mata publik.
“Tak hanya itu, terjadinya error system ini juga dapat berujung pada risiko hukum terhadap BSI, bisa jadi pihak-pihak yang merasa dirugikan akan mengajukan gugatan atau komplain kepada bank,” ungkapnya.
Dengan semua risiko tersebut, kata Rustam, akan mengakibatkan turunnya peringkat kesehatan bank dimata regulator. Hal ini yang paling dikhawatirkan oleh bank manapun.
“Aceh sudah memilih Qanun LKS sebagai regulasi untuk lembaga keuangan. Hanya Aceh satu-satunya provinsi yg menetapkan "single banking system". Tentu sebuah pilihan yang sangat berisiko, apa yang sedang dialami Aceh saat ini merupakan konsekuensi dari pilihan ini,” tegasnya.
Untuk itu, ia meminta kepada pembuat kebijakan di daerah ini harus melihat masalah ekonomi terutama soal lembaga keuangan ini secara komprehensif, tidak boleh hanya memandang dari sisi yang sempit.
“Mereka harus memahami dengan cermat problema yang sedang dialami daerah, terutama pengangguran, iklim usaha yang belum berkembang baik, investasi yang minim, termasuk masalah kemiskinan yang masih sangat menonjol dan belum terentaskan,” pungkasnya. (Nor)