Dr Raihan Iskandar Uraikan Faktor Penyebab Lemahnya SDM di Indonesia
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
[Foto. Roni/Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mudir Dayah Al ‘Athiyah Tahfizh Al Qur’an Aceh, Dr H Raihan Iskandar menyebutkan, pola sistem pendidikan di Indonesia tidak serius dikembangkan oleh pemerintah.
Ia membandingkan ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jepang dan Korea dalam mengembangkan pendidikan terutama pada anak-anak didik.
"Lihat mereka, sangat serius dengan dunia pendidikan, fokus pada dunia pendidikannya tinggi sekali. Sementara kita, fokus terhadap dunia pendidikan ini semakin hari semakin berkurang," ujar Dr Raihan saat berkunjung ke kantor Redaksi Dialeksis.com dan Studio Jalan Ary, Minggu (31/1/2021).
Dirinya mengaku tidak mengetahui dari mana asal penyebab keacuhan negara dalam meningkatkan mentalitas pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, satu hal yang pasti, orangtua dia dulu yang lulusan Madrasah Ibtidayah (MI) sudah mahir baca kitab kuning dan lancar menulis bahasa Arab.
Dr Raihan mengindikasikan pengajaran di masa lalu jauh lebih baik ketimbang masa sekarang.
"Berarti pengajaran dulu itu keren, kalau sekarang, jangankan lulusan Ibtidayah, Aliyah pun kayaknya nggak akan mampu seperti itu," sebut Raihan.
Ia berujar, ketika ada kompetisi guru yang diadakan di tahun 2013 lalu, memperlihatkan indeks kualitas guru pengajar di Indonesia menurun dan melemah.
Selain itu, Dr Raihan mengatakan faktor cara mendidik juga termasuk dalam katagori penyebab Indonesia lemah dalam menumbuhkan Sumber Daya Manusia (SDM).
Anak-anak bangsa dalam menumbuhkan cara berpikir kreatif, kata dia, relatif lambat.
Ia menyebutkan, di Amerika Serikat, anak-anak sedari kecil sudah dilatih untuk berpikir kreatif. Seorang anak di Amerika bisa mengeksplor dirinya secara terbuka dan tanpa ada hambatan yang menghalangi.
"Artinya, lingkungannya memang benar-benar mendukung," sebut Dr Raihan kepada wartawan Dialeksis.com.
Ia menjelaskan, apabila seorang anak semakin gencar dalam bertanya maka akan semakin aktif otaknya berkembang. Karena, tak ada seorang anak pun yang bertanya kepada orangtua atau kepada seorang guru tanpa ada kegelisahaan yang menyelimuti di otaknya.
"Ketika si anak bertanya, bertanya dan bertanya, itu sebenarnya untuk menangkap ilmu-ilmu dari kegelisahan otaknya," jelasnya.
Akan tetapi, lanjut dia, fenomena di Indonesia terutama orangtua di Aceh malah kesal meladeni anak yang bertanya, sehingga kemudian ada yang dibentak, dimarahi bahkan melarang si anak untuk tidak bertanya lagi.
"Nah, kalau sejak kecil sudah dibentak, dimarahi, dan nggak boleh nanya lagi, otak itu nggak akan terlatih untuk berpikir. Pola lingkungan yang melatih generasi itu untuk terus melatih anak sejak kecil berpikir ini yang relatif kurang di bangsa kita," kata dia.
Mantan anggota DPR RI periode 2009-2014 itu mengatakan, Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional (Diknas) sebenarnya sudah bagus, akan tetapi secara implementasi masih tidak maksimal.
Ia berujar, setiap kali ada pergantian-pergantian pejabat, arah gawang implementasi UU Diknas terus berubah-ubah dan kadang tidak sesuai dengan semangat awal serta filosofi UU itu dilahirkan.
Ia mengatakan, UU Diknas sejak awal memang tidak membolehkan adanya Ujian Nasional (UN). Ia mengatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sudah tepat ketika menghapus UN.
Anggaran UN yang mencapai ratusan milyar, sebut Dr Raihan, telah membuat kekisruhan di dunia pendidikan karena diambil dari dana Bantuan Sosial (Bansos).
"UN itu seingat saya angkanya meningkat dari 600 milyar hingga yang terakhir 900 milyar. Ini UN yang 900 milyar belakangan ini akhirnya terbongkar bahwa angka tersebut diambil dari biaya Bansos untuk anggaran pendidikan," sebut dia.
Karena UN telah dihapus, Dr Raihan kemudian mengapresiasi Nadiem Makarim. Jika UN masih dilanjutkan, ia mengkhawatirkan alokasi anggaran pendidikan itu dapat disalahgunakan.
Selain itu, ia menyarankan agar pemangku jabatan negara dan elit politik yang berkuasa saat ini untuk tidak serta merta mengeluarkan sebuah kebijakan tanpa dengar pendapat dari para pakar.
"Paling tidak sekarang ini, elit politik jangan langsung membuat statement-statement kebijakan. Kumpulkan dulu para pakar, fahami dulu fondasinya, lalu minta pandangan mereka apa yang terbaik yang dapat ditawarkan dengan berbagai alasan kuat," pungkasnya.