DPD RI Awasi Dua Undang-Undang di Aceh
Font: Ukuran: - +
Asisten III Setda Aceh, Drs. Bukhari MM., menerima kunjungan anggota Komite III di Ruang Potensi Daerah, Selasa (12/11/2019). Kunjungan DPD adalah ingin melakukan pengawasan atas penerapan Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. [Foto: Humas Aceh]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komite III DPD RI melakukan pengawasan atas penerapan dua undang-undang di Provinsi Aceh. Dalam kunjungan yang dipimpin oleh Ketua Komite, Bambang Sutrisno itu, ikut hadir 12 anggota termasuk Wakil Ketua I Muhammad Gazali dan juga Anggota DPD asal Aceh, Fadhil Rahmi.
Kedatangan Komite III DPD RI untuk mengawasi penerapan Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas itu ke Aceh, disambut langsung oleh Asisten III Sekda Aceh, Bukhari serta para kepala SKPA terkait, Selasa (12/11/2109).
Pariwisata di Aceh
Terkait kepariwisataan, kata Bukhari, pemerintah Aceh terus melakukan perbaikan, demi mendukung tercapainya target kedatangan wisatawan ke Indonesia. Kedatangan para pimpinan dan anggota DPD RI ke Aceh diharapkan bisa mendapatkan hasil maksimal.
Ketua Komite III DPD RI, Bambang Sutrisno, mengatakan hasil dari kunjungan kerja ke Aceh nantinya akan dibicarakan dalam rapat bersama pihak DPR RI dan diharapkan bisa berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah. Selain ke Aceh, tim Komite III DPD RI juga melakukan kunjungan kerja ke NTT dan Kalimantan Timur.
"Harapan kami bisa sedikit memotret kondisi di daerah sehingga mendapatkan informasi tentang keadaan yang mendekati apa adanya. Kami turun ke daerah untuk mengetahui perkembangan tentang pengawasan dan kendala terhadap dua undang-undang itu," kata Bambang.
Bambang menyebutkan, dalam temuan pihaknya, masih banyak keluhannya terkait keterbatasan akses menuju destinasi baik dalam konteks infrastruktur bandara maupun infrastrukur ke lokasi destinasi pariwisata. Selain itu kelengkapan sarana prasarana di destinasi pariwisata sering dipersoalkan seperti ketersediaan fasilitas umum. Belum lagi dengan keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Karena itu perlu upaya bersama untuk senantiasa meningkatkan kapasitas di bidang SDM kepariwisataan.
Menjawab hal itu, Kepala Dinas Pariwisata Aceh, Jamaluddin, mengatakan sebagai salah satu destinasi wisata halal di Indonesia, Aceh punya aturan yaitu Qanun No. 8 tahun 2012 tentang kepariwisataan, sebagai turunan dari Undang-undang Kepariwisataan.
Memang, kata Jamaluddin, kekurangan SDM kepariwisataan menjadi kendala pemerintah Aceh di samping juga masih terbatasnya aksesibilitas ke kawasan wisata. Dari 966 objek wisata dan 909 cagar budaya yang tersebar di Aceh, hanya ada sekitar 700 orang pemandu wisata. Dinas Pariwisata Aceh juga mencatat ada 500 kelompok sadar wisata.
"Kita juga masih terkendala dengan kesadaran masyarakat di kawasan kepariwisataan yang masih kurang," kata Jamaluddin.
Jamaluddin memaparkan, beberapa daerah unggulan seperti Pulau Banyak di Aceh Singkil memang masih terkendala aksesibilitas. Untuk menuju ke sana dari Banda Aceh membutuhkan waktu hingga 14 jam. Sementara dari Medan Sumatera Utara mencapai 9 jam perjalanan darat.
"Kami berharap pihak Komite III DPD RI bisa menyampaikan aspirasi kami ke pemerintah pusat, tolong perpanjangan runway (saat ini hanya 1.300 panjang runway) bandara di Aceh Singkil," kata Jamaluddin. Dengan jarak tempuh yang begitu lama banyak turis-turis asing yang terhambat jika hendak menuju ke Pulau Banyak. "Padahal taman laut di sana sangat bagus. Kawasan itu adalah daerah unggulan (pariwisata) kita."
Jamaluddin merinci jumlah wisatawan ke Aceh yang terus meningkat. Di tahun 2018, tercatat ada 106 ribu wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Aceh. Sementara 2,4 juta wisatawan lokal tercatat berlibur ke Aceh. Untuk mendongkrak jumlah wisatawan, kata dia, pemerintah telah mencatat 100 kalender event wisata di Aceh.
Dinas Pariwisata juga telah membagi empat klaster wisata di Aceh. Klaster pertama adalah untuk kawasan Sabang-Banda Aceh- Sabang, klaster tengah di dataran tinggi Gayo, klaster wilayah barat selatan Aceh dan klaster timur dan utara Aceh. Masing-masing klaster itu terfokus pada kepariwisataan sendiri, misal bahari di Sabang-Aceh Besar dan Banda Aceh, serta adventure di kawasan tengah Aceh.
"Dengan pembagian klaster itu, penganggaran yang kita lakukan juga lebih fokus," kata Jamaluddin.
Anggota Komite III DPD RI asal Aceh, Fadhil Rahmi, mengatakan pihaknya perlu langkah konkrit terkait apa keinginan pemerintah Aceh sehingga sinergitas dengan DPD RI bisa dilakukan. Ia ingin pemajuan kepariwisataan Aceh tidak boleh sekedar wacana.
"Kita harus berpikir dengan format dan pola yang berbeda. Sedikit berbuat lebih berarti daripada wacana yang banyak," kata Fadhil Rahmi.
Zuhri M. Shazali, Anggota DPD dari Kepulauan Bangka, mengatakan seharusnya sebagai daerah khusus, Aceh adalah momentum. Aceh kata dia, bisa menjadi rujukan khususnya dalam hal pariwisata halal bagi provinsi lain di Indonesia.
"Aceh punya kekuatan besar untuk berkembang. Secara politik dan komunikasi kami bisa mengupayakan (untuk mendukung kemajuan pariwisata) Aceh. Mohon disampaikan kendala ke kami, apa yang bisa kami bantu. Khusus kepariwisataan itu kewenangan kami," kata Zuhri.
Zuhri menyebutkan lagi, paska-Tsunami, hampir seluruh masyarakat dunia tahu tentang Aceh. Hal itu menjadi modal besar untuk memajukan kepariwisataan di Aceh.
Perlindungan bagi Penyandang Disabilitas
Sementara terkait penyandang disabilitas, Bambang Sutrisno mengatakan, undang-undang telah mengamanatkan pelindungan hak asasi bagi penyandang disabilitas serta kesetaraan perlakuan bagi mereka. "Undang-undang menghendaki perlakuan tanpa diskriminasi diterapkan pada penyandang disabilitas," kata dia.
Karena itu, Bambang menghendaki adanya kebijakan ramah disabilitas yang diterapkan oleh pemerintah Aceh di sarana-sarana publik. Pihaknya juga mengharapkan instansi baik pemerintah maupun swasta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53 UU Disabilitas di mana pemerintah, BUMN dan BUMD harus mempekerjakan 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai maupun 1 persen untuk di swasta.
Sekretaris Dinas Sosial Aceh, Revi Riansyah menyebutkan serapan tenaga disabilitas baik di pemerintahan dan swasta di Aceh memang masih sangat minim. Namun pihaknya telah mempekerjakan 6 orang disabilitas sebagai tenaga kontrak di Dinas Sosial.
Namun demikian, pemerintah Aceh terus berusaha melakukan hal-hal maksimal untuk perbaikan pelayanan bagi disabilitas. Dari data yang ada, tercatat ada 7.678 disabilitas di seluruh Aceh. Sementara ada 883 orang dengan kecacatan berat di Aceh. (h/rls)