Direktur RSUZA: DPRA Tidak Utuh Melihat Persoalan Pembangunan Gedung Oncology
Font: Ukuran: - +
Direktur RSUZA, Dr. dr. Azharuddin, SpOT, K-Spine FICS. [Dok. Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Proses pembangunan gedung Oncology Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh sudah mangkrak selama tiga tahun. Pasalnya, pembangunan gedung pusat kanker di Aceh sudah direspon DPR Aceh melalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) sehubungan adanya indikasi masalah pembangunan gedung Oncology.
Menanggapai hal itu, Direktur RSUZA, Dr. dr. Azharuddin, SpOT, K-Spine FICS., menyampaikan semua pihak harus dapat melihat persoalan pembangunan gedung oncology secara utuh, termasuk DPR Aceh yang memiliki kewenangan tupoksi pengawasan ke eksekutif.
Menurut Azhar, awal persoalan terhambatnya pembangunan oncology tersebut, karena beberapa pihak menilai ada cacat prosedur. Pihaknya mengaku menerima tuduhan tersebut dengan menghentikan sementara dengan pembatalan kontrak tender yang dimenangkan PT Adi Persada.
“Patut dipertanyakan ada cacat prosedur itu. Dan kami sudah diobati, kami stop dulu saat ada yang menyampaikan ada yang keliru. kami tidak menabrak. Kami serius dengan pernyataan bahwa proyek ini harus berhenti dulu. Kemudian kami melakukan pembatalan kontrak, karena dengan pihak ketiga diangap bermasalah, ok kita stop dulu, karena ada yang menyatakan proyek itu bermasalah, terlepas itu benar atau salah,” kata Azhar.
Selanjutnya untuk mengisi kekosongan pihaknya mendiskusikan dengan berbagai pihak terkait seperti Inspektorat, Aparat Pengawas Interen Pemerintah (APIP) dan Biro Hukum.
Tidak hanya itu, sejurus kemudian Azhar mendatangi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP) untuk mencari kebenaran terkait persoalan itu. Hal itu ia lakukan karena pihaknya merasa tidak bersalah, dengan dituduhkan kecurangan dan in equilty.
Kemudian lembaga LKPP menyatakan tidak ada persoalan, karena menurut LKPP sudah dilakukan dengan cermat. LKPP pihak RSUZA tidak mengalahkan seseorang, tapi memang atas dasar penilaian yang dilakukan Pokja dan banyak pihak lainnya.
“Kami sampaikan keluhan-keluhan dari para pihak. Contohnya ada PT. MAM Energindo yang melakukan sangat banding, yang belum jatuh tempo, masih ada beberapa hari lagi di bulan Januari, karena dengan ini kami meminta pandangan dari LKPP, yang pada tahun-tahun sebelumnya LKPP juga kami jadikan rujukan kami, LKPP yang memerintahkan batalkan kontrak dua tahun berturut-turut dan yang black list,” tegas Azhar.
Terkait hal itu, LKPP merekomendasikan untuk pembatalan kontak, sekaligus membuka kontrak ulang, pasalnya pemenang terder awal sudah dibatalkan.
“Yang paling penting memenuhi kualifikasi yang sudah ditetapkan, karena menurut LKPP juga tidak ada yang keliru, semua itu bisa di buktikan dengan dalil-dalil. Yang menang ada pointnya dan yang kalah juga ada pointnya,” kata dia lagi.
Menurutnya, saat dilakukan pembatalan kontrak dengan KSO Adi Persada juga tidak ada yang keberatan. Karena dianggap tidak ada yang keliru. Ia melanjutkan, kekeliruan terjadi hanya pada persoalan waktu pencairan uang muka, dan itu sudah diselesaikan dan diperbaiki.
“Jadi kalua mau dipahami secara utuh, harus dilihat seluruh alur utama, bukan yang aksesorinya. Kami sadar betul, sehingga kami lakukan upaya, bagaimana gedung radio oncology itu, pusat kanker untuk Aceh yang sudah gagal berkali-kali, ini harus diwujudkan,” tegas Azhar.
Untuk terus berupaya mewujudkan gedung oncology Azhar terus membangun komunikasi berbagai pihak. Pasalnya apa bila terus dibiarkan pemerintah Aceh akan semakin menelan kerugian. Menurut LKPP, pihaknya sudah benar, mengacu pada aturan PP No. 16 tahun 2018 dalam kontrak selama tahun jamak.
“Upaya untuk itu kita lakukan bersama, dua tahun gagal, kalua tahun ketiga ini gagal kita akan rugi 40 M, kenapa, karena kalua melihat dari apa yang terjadi dengan mangkraknya pembagunan gedung oncology ini semua pondasi yang terendam selama tiga tahun, itu sudah tidak bisa dipakai lagi, kalua pembangunanya tidak bisa jalan tahun ini. Tapi itu bukan substansi, tidak usah dipersoalkan,” tambahnya.
Masih menurut Azahar semua pihak seharusnya memahami persoalan gedung oncology secara utuh, tidak terkecuali DPRA. Pun begitu, pihaknya mengabaikan nuansa politis terkait mandeknya pembagunan gedung oncology untuk Aceh. Azhar mengaku terus menjaga niat baik untuk mewujudkan realisasi pembangunan gedung tersebut.
“Kan DPRA sudah mendapat informasi secara utuh, baik dari Inspektorat, BPK dan pihak lain. Tidak tahu saya apa ada nuansa politis atau tidak. Namanya audit kan bisa saja secara formal dan secaralembaga. Dan yang berhak untuk melakukan pengawasan kan memang DPRA. Mungkin DPRA dalam hal ini penglihatanya lebih komprehensif dan lebih detail, mungkin kalau dengan di bentuk pansus, DPRA bisa memangil semuanya. Kalau kami berpositif thinking aja,” pungkas Azhar.